A.
Latar Belakang.
Dierah kemajuan
teknologi akibat perkembangan globalisasi, saat ini informasi dan ilmu
pengetahuan akan mudah masuk dan dicerna oleh masyrakat dan bangsa, sehingga
dari efek perkembangan tersebut akan di jadikan sebagai wacana atau sistem yang
mereka berlakukan. pendidikan saat ini di indonesia lebih condong pada hegemoni
Barat, di mana konsep pendidikan bercorak ateistik, sekulartistik,
matrealistis, rasionalistis, emperis dan skeptis.
Hingga pada
kini, dari produk pendidikan yang akan dipersiapkan untuk melanjutkan tongkat
estapet, malah merusak apa yang menjadi tujuan pendidikan pada umunya yakni
menjadikan manusia yang berilmu serta beriman. karena hegemoni barat tersebut
mengakibatkan dari faham ateistis sehingga konsep pendidikan di indonesia masih
terjadi dikotomi ilmu pengetahuan, dengan faham matrealistik banyak anak-anak
negeri ini putus dari sekolah karena mahalnya pendidikan, sehingga dari
rangkaian tersebut melahirkan generasi yang individualistic, hal tersebut telah
di hindari dan di tekan dalam rancangan regulative pendidikan nasional.
Pencapaian tujuan
pendidikan ditentukan sebagaimana tercantum dalam UUD No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang
demokratis serta bertanggung jawab”.[1]
Konsep yang
seperti hal tersebut harus segera diatasi demi cita-cita bangsa ini, dengan
disesuaikan konsep dengan budaya indonesia religiutas islami. karena hal ini
sejalan dengan pandangan seluruh ahli pendidikn yang mengatakan bahwa sistem
serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor
ataupun diekspor kesuatau negara atau masyarakat.
Pendidikan akan
kita ketahui penekanannya pada keseimbangan dan keseriusan perkembangan hidup
manusia. Maka pendidikan diartikan sebagai usaha mengubah tingkahlaku individu
dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan pada
alam sekitarnya melalui proses kependidikannya dan kehidupan pada alam
sekitarnya melalui proses yang dilandasi dengan nilai-nilai kependidikan. [2]
Dalam upaya
merealisasikan tujuan pendidikan tersebut; nampaknya belum optimal dan kurang
berhasil, seperti di tegaskan dalam GBHN 1999 yaitu di bidang pendidikan
masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna
bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya
kepribadian dan kesadaran akan makna dan hak kehidupan. [3]
Mata pelajaran
yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang di berikan
dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan
sehari-hari. Karena masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup
untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan
masyarakat yang majemuk, bahkan kehidupan beragama belum memberikan jaminan
akan peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
bagi masyarakat. Merebak penyakit social, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas,
pemakaian obat terlarang, perilaku formal kehidupan keagamaan dengan perilaku
realitas nyta kehidupan keseharian.[4]
Sejalan dengan
dengan itu, kini sudah waktunya agar konsep pendidikan di indonesia mengacu
pada islam sebagai ajaran yang universal yang lebih mengarah pada
ahlakulkarimah yang berilmu pengetahuan, sehingga menghasilkan berbagai
keunggulan yang pada akhirnya memberikan solusi yang baik untuk negeri ini.
terutamanya masalah pendidikan, terjadinya keterbelakanagan dalam bidang
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, peradaban, kesehatan, disiplin dan
sebagainya. penyebab utamanya adalah karena keterbelakangan dalam bidang
pendidikan. atas dasr inila, maka sejak awal kehadirannya di muka bumi ini,
islam selalu menempatkan pendidikan sebagai agenda utama dalam upaya
memperbaiki keadaan masyrakat yang kacau balau .
Pembicaraan
seputar Islam dan pendidikan tetap menarik, terutama dalam kaitannya dengan
upaya membangun sumber daya manusia muslim.islam sebagai agama dan pandangan
hidup yang diyakini mutlak kebenaranan akan memberikan arah dan landsan etis
serta moral pendidikn. dalam kaitaannya ini Malik Fadjar mengatakan bahwa:
hubungan antara islam dan pendidikan memiliki hubungan filosofis yang mendasar,
baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis.
Namun dalam
kajian tersebut dalam pemikiran islam dalam upaya menghubungkan islam dengan
masalah yang dijumpai masih menuai perbedaan pendapat dari para ahli. dalam hal
ini, kalangan ummat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran yang sering
menimbulkan kontroversi. pertama, islam sebagai agama terakhir dan penyempurna,
adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan ummat manusia.
kalangan ini biasanya mengemukakan pernyataan ini, bahwa islam mengatur permasalahan
kecil, seperti bagaimana adab atau tata cara masuk kamar kecil sampai pada
masalah- masalah kenegaraan, kemanusian, termasuk didalamnya bidang pendidikan.
kelompok ini biasanya dijuluki kelompok universal bersikap lebih radikal, dan
dalam memahami islam umumny lebih skriptualis.
Kelompok kedua
yang berpendapat bahwa islam hanya mengatut hubungan antara manusia dengan
tuhannya. mengajak.manusia kembali pada kehidupan mulia dengan menjunjung
tinggi budi pekerti luhur. adapun urusan-urusan kedunian, termasuk masalah
pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengatur berdasarkan kemampuan
akal budi yang di berikan kepada manusia. kelompok ini berpendapat bahwa
pendidikan islam itu tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan islami.
Pendidikan
menurut kelompok ini secara epistemologi berada dalam kawasan yang bebas nilai,
tidak mempunyai konteks dengan islam. islam hanya menempati kawasan aksiologi,
nilai-nilai etis dalam pemanfaatan, dan berada diluar struktur ilmu pendidikan.
kelompok kedua ini, berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian
barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Kelompok ketiga
berpendapat bahwa islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku,
melainkan sistem nilai dan norma yang secara dinamis harus dipahami dan
diterjemahkan berdasarkan setting sosial yang dimensi ruang dan waktu tertentu.
kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendikiawan yang secara
intelektual mampu menagkap ide moral.[5]
Ketiga pendapat
tersebut sebenarnya tidak ada yang paling benar, sehingga yang satu menyalahkan
yang lain. karena persoalan pemahaman sebenarnya bersifat relatif kebenarannya
adapun kebenarannya yang absolut hanyalah islam itu sendiri, kontraversi yang
sering timbul dalam pemahaman pendidikan islam sangat berdampak terhadap
kesiapan kelembagaan pendidikan islam dalam merancang system pendidikan yang
tepat untuk merespon perkembangan masyarakat keikinian. Sehingga lewat makalah
ini penulis merasa berkompetisi untuk menyelam dan mengkaji alasan problematic
yang mendasarinya serta berniat memberikan solusi atas permasalahan tersebut
dengan mengangkat Topik Makalah Dengan judul “Lambatnya Perumusan Pendidikan
Islam Dalam Merespon Kecenderungan Perubahan Masyarakat Kekinian”.
B. Konsep Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pada
saat ini dunia pendidikan memiliki banyak cabang, di antaranya pendidikan
bahasa Inggris, pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan Dasar Matematika,
pendidikan Islam dan lain-lain. dalam bab ini yang akan dibahas adalah tentang
pendidikan Islam. istilah pendidikan Islam berasal dari gabungan dua kata yaitu
kata “pendidikan” dan “Islam”. dalam bahasa Arab, pendidikan Islam dikenal
dengan At Tarbiyatul Al Islamiyah (التّربيّة
الاسلامية). Adapun dalam
bahasa Inggris sering disebut Islamic Education.
Kata
pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat.[6]
Sedangkan Islam yaitu agama universal yang Allah perintahkan kepada
seluruh manusia dan imani Rosul-Rosulnya.[7]
Jadi pendidikan Islam yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran tentang Agama Universal.
Pendidikan
merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh dikatakan bahwa setiap
orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga Pendidikan Agama Islam ( PAI ).
Masyarakat awam mempersepsikan pendidikan itu identik dengan sekolah, pemberian
pelajaran, melatih anak dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya memiliki
persepsi bahwa pendidikan itu menyangkut berbagai aspek yang sangat
luas,termasuk semua pengalaman yang diperoleh anak dalam pembetukan dan
pematangan pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.
Pendidikan
sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan konferensi
internasional pertama tentang pendidikan Muslim (1977) , seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum berhasil menyusun
suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para ahli pendidikan
secara bulat .
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 1 menyebutkan bahwa :"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".[8]
Sedangkan
definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI adalah :
"Pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia,
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan
Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan
pengalaman."
Sedangkan
menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk
menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam (knowing), terampil
melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam (doing), dan mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (being).
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah
untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam, keterampilan
mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran Islam itu dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan utama Pendidikan
Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi seorang Muslim dengan intensitas
keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari oleh keimanan yang kuat.
Upaya
untuk mewujudkan sosok manusia seperti yang tertuang dalam definisi pendidikan
di atas tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu harus melalui proses
pendidikan dan kehidupan, khususnya pendidikan agama dan kehidupan beragama.
Proses itu berlangsung seumur hidup, di lingkungan keluarga , sekolah dan
lingkungan masyarakat. Salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan
agama Islam saat ini, adalah bagaimana cara penyampaian materi pelajaran agama
tersebut kepada peserta didik sehingga memperoleh hasil semaksimal mungkin.
Apabila
kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan Agama Islam, salah satu
kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan pendidikan agama ialah masalah
metodologi. Metode merupakan bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan
dari semua komponen pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi
dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan
suatu pengetahuan tentang metodologi Pendidikan Agama, dengan tujuan agar
setiap pendidik agama dapat memperoleh pengertian dan kemampuan sebagai
pendidik yang professional.
Guru-guru
Pendidikan Agama Islam masih kurang mempergunakan beberapa metode secara
terpadu. Kebanyakan guru lebih senang dan terbiasa menerapkan metode ceramah
saja yang dalam penyampaiannya sering menjemukan peserta didik. Hal ini
disebabkan guru-guru tersebut tidak menguasai atau enggan menggunakan metode
yang tepat, sehingga pembelajaran agama tidak menyentuh aspek-aspek paedagogis
dan psikologis.
Setiap
guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
berbagai metode yang dapat digunakan dalam situasi tertentu secara tepat. Guru
harus mampu menciptakan suatu situasi yang dapat memudahkan tercapainya tujuan
pendidikan. Menciptakan situasi berarti memberikan motivasi agar dapat menarik
minat siswa terhadap pendidikan agama yang disampaikan oleh guru. Karena yang
harus mencapai tujuan itu siswa, maka ia harus berminat untuk mencapai tujuan
tersebut. Untuk menarik minat itulah seorang guru harus menguasai dan
menerapkan metodologi pembelajaran yang sesuai.
Metodologi
merupakan upaya sistematis untuk mencapai tujuan, oleh karena itu diperlukan
pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Tujuan harus dirumuskan dengan
sejelas-jelasnya sebelum seseorang menentukan dan memilih metode pembelajaran
yang akan dipergunakan. Karena kekaburan dalam tujuan yang akan dicapai,
menyebabkan kesulitan dalam memilih dan menentukan metode yang tepat.
Setiap
mata pelajaran memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dalam bahan atau
materi pelajaran, baik sifat maupun tujuan, sehingga metode yang digunakan pun
berlainan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya
dari segi tujuan dan sifat pelajaran tawhid yang membicarakan tentang masalah
keimaman, tentu lebih bersifat filosofis, dari pada pelajaran fiqih, seperti
tentang shalat umpamanya yang bersifat praktis dan menekankan pada aspek
keterampilan. Oleh karena itu, cara penyajiannya atau metode yang dipakai harus
berbeda.[9]
Selain
dari kekhususan sifat dan tujuan materi pelajaran yang dapat membedakan dalam
penggunaan metode, juga faktor tingkat usia, tingkat kemampuan berpikir, jenis
lembaga pendidikan, perbedaan pribadi serta kemampuan guru , dan sarana atau
fasilitas yang berbeda baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini
semua sangat mempengaruhi guru dalam memilih metode yang tepat dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan.
Seluruh
umat manusia harus mengetahui tentang pendidikan Islam secara keseluruhan agar
memantapkan keimanan dan ketaatan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh
Allah SWT. apabila mereka tidak mengetahui tentang pendidikan Islam sama saja,
mereka hanya Islam dalam KTP (Islam KTP). Pada hakikatnya, mereka mengakui
bahwa mereka beragama Islam, tetapi mereka tidak mengetahui apa agama Islam
itu.
Pendidikan
Islam dapat dijumpai di berbagai lembaga-lembaga yang berbasis Islami mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi, seperti: MI, pondok
pesantren, MTs, MA, IAIN, dan lain-lain. Namun pendidikan Islam juga bisa
diperoleh di lembaga-lembaga umum misalnya : SD, SMP, SMA, SMK, dan lain-lain,
sebagai salah satu mata pelajaran.
Pendidikan
Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang sejak awal kejadiannya
sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi akal dan ilmu.[10]
Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling
sempurna harus bisa menjadi khalifah yang berilmu dan bertanggungjawab atas apa
yang telah dipimpinnya.
2.
Dasar
dan Tujuan Pendidikan Islam
Setiap
pengetahuan atau ilmu mempunyai dasar-dasarnya. Dasar pendidikan Islam adalah
Al-Qur’an dan Al-Hadits (sunah Nabi). Di atas kedua pilar ini dibangun konsep
dasar pendidikan Islam.[11]
Menuntut ilmu adalah instruksi agama, karena ilmu merupakan salah satu bekal
manusia di alam kubur agar tidak tersiksa di alam baqa’. Allah SWT.
memerintahkan manusia untuk membaca sesuai firman-Nya :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.
Demikian
juga dalam hadits Nabi perintah menuntut ilmu sebagai kewajiban yang harus
dilakukan umat Islam, meskipun tempat menuntut ilmu di daerah non Muslim,
seperti hadits Nabi:
اطلى العلم ولو بالصين.
Artinya:
“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.”
Dari
konsep tersebut sangat terlihat jelas bahwa islam sangatlah merespon masalah
pendidikan, sementara Tujuan dari
Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a.
Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan
muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan
mengolah bumi sesuai dengan aturan-aturan dan kehendak Tuhan.
b.
Mengarahkan manusia agar tugas kekhalifahannya di
muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan SWT.
c.
Mengarahkan manusia agar berakhlak mulis,
sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
d.
Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan ketrampilan untuk mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahanya.
Pendidikan
Islam berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu,
berteknologi, beriman, dan beramal sholeh. Untuk melahirkan manusia yang baik
(ahsan) agar bisa menjalankan kekhalifahannya di muka bumi. Semua dilakukan
hanya semata-mata untuk beribadah kepada Allah. hal ini diperkuat dengan firman
Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ
إِلا لِيَعْبُدُونِ. (٥٦)
Artinya: “Tidaklah kami menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah”.
C.
Ruang
Lingkup Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan
agama islam adalah keseluruhan dari ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam hal tersebut dapat dipahami bahwa ruang lingkup pendidikan agama
islam meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:
1.
Hubungan Manusia dengan Allah SWT
2.
Hubungan Manusia dengan sesame Manusia
3.
Hubungan manusia dengan dirinya; dan
4.
hubungan manusia dengan mahkluk lain di
lingkungannya
Ada
ruang lingkup bahan Pelajaran Pendidikan agama islam meliputi tujuh unsure
pokok, yaitu:
1.
Keimanan
2.
Ibadah
3.
Al-Qur’an
4.
Akhlak
5.
Muamalah
6.
Syariah, dan
7.
Tarikh.[13]
Pendidikan
islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia pada aspek rohani
dan jasmani dengan cara bertahap oleh karena itu suatu kematangan yang bertitik
akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan dapat tercapai melalui proses
karena tidak ada satupun mahkluk ciptaan Tuhan diatas bumi ini dapat mencapai
kesempurnaan/kematangan hidup tanpa berlangsung sebuah proses. Akan tetapi
suatu proses yang diinginkan disebuah lembaga pendidikan adalah proses yang
terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan anak didik kepada titik optimal
kemampuannya sehingga pendidikan sebagai suatu proses bukan suatu seni atau
teknik.
Pendidikan
islam akan kita ketahui penekanannya pada keseimbangan dan keseriusan
perkembangan hidup manusia. Maka pendidikan islam menurut Prof. Dr Omar
Muhammad Al-Touny Al-Syahbani[14]
diartikan sebagai usaha mengubah tingkahlaku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan pada alam sekitarnya
melalui proses kependidikannya dan kehidupan pada alam sekitarnya melalui
proses kependidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai islam
Pendidikan
merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang
berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan proses kependidikan manusia akan
dapat dimanusiakan yang mampu menaati ajaran agama-Nya dengan menyerahkan diri
secara total.
Pendidikan
adalah tuntutan manusia sejak ia lahir hingga mencapai kedewasaan jasmani dan
rohani, dalam interaksi dan lingkungan masyarakatnya. Menurut Mortimer J Adler[15]
mengartikan pendidikan adalah proses dengan mana semu kemampuan manusia bakat
serta kemampuan lain yang diperolehnya dapat mempengaruhi untuk disempurnakan
dengan kebiasaan yang baik
Sedangkan
menurut Hernan H. Horne dalam J Adler menginginkan pendidikan harus dipandang
sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia dengan alam sekitarnya, sesama
manusia dan kosmos yang berlaku di sekitarnya.
[16]
Tapi
pada kongres se-dunia pada tahun 1980. Dinyatakan bahwa pendidikan islam untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, aspiritukal, pikiran, kecerdasan, dan panca indra.
Oleh karena itu pendidikan islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan
manusia, baik spiritual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan bahasa baik secara
individu maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek kearah kebaikan dan kearah
pencapaian kesempurnaan hidup.
Jadi
melatih dan mengembangkan (cater for) mengandung pengertian tentang usaha
meningkatkan taraf kehidupan melelui seluruh aspek-aspek untuk mengarahkan
proses pendidikan islam. Yang tidak mungkin dapat sampai ketujuan yang telah
ditetapkan, tanpa melalui proses tahap demi tahap. Mengingat manusia dengan
kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai kematangan hidup, setelah
berkembang mellui tingkat hidup kejiwaan dan kejasmanian dengan pengaruh atau
bimbingan dari generasi yang diperoleh. [17]
Dalam
kaitannya dengan esensi pendidikan islam yang dilandasi oleh filsafat
pendidikan yang benar dan mengarahkan proses kependidikan islam menurut, Dr.
Muhammad Fadel Al-Jawali guru besar pendidikan di unifersitas Tunisia,
mengungkapkan cita-citanya bahwa pendidikan yang harus dilaksanakan oleh umat
islam adalah pendidikan keberagaman yang berlandaskan keimanan yang berdiri
diatas filsafat pendidikan yang bersifat menyeluruh. Beliau juga menambahkan
iman yang benar menajadi dasar dari setiap usaha pendidikan yang benar, karena
iman yang benar memimpin manusia kearah ahklak mulia. Ahlak mulia memimpin
manusia kearah usaha mendalami harkat dan menuntut ilmu yang benar sedangkan
ilmu yang benar memimpin manusia kearah amal saleh. [18]
Yang
dipandang sebagai ilmu yang benar yang mampu menghasilkan amal saleh adalah
luas cakupannya, yaitu ilmu yang dapat memberikan manfaat kepada kehidupan
dunia yang serba modern dalam semua bidang baik yang bersifat teoritis maupun
praktis, berupa sains dan teknologi modern.
Menurut
Muhammad Fadil Al-Djawali, Pendidikan islam adalah proses yang mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya
sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah)
dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar).
Dengan
demikian pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan, keterbukaan
terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari diri anak didik.
Demikian barulah fitrah untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan
factor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar. Oleh karena itu
pendidikan secara operasional mengandung dua aspek yaitu aspek menjaga atau
memperbaiki serta aspek menumbuhkan dan membina. [19]
Dalam
merumuskan suatu kurikulum pendidikan islam tentunya melibatkan komponen utama
yaitu target dan tujuan yang sangat jelas dan komprehensif, karena manfaat bagi
peserta didik untuk dapat menentukan kandungan dan metode yang ingin dicapai
pendidikan tersebut. Dalam proses pendidikan islam metode yang dianggap
tepatguna dengan berdaya apabila ia mengandung nilai-nilai intrinsic dan
ekstrinsic yang sejalan dengan materi pelajaran secara fungsional dapat dipakai
untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan
islam, karena inti yang menjadi tujuan akhir dari pada pendidikan islam adalah
menjadi peserta didik sebagai manusia yang paripurna atau insane kamil dalam
bahasa Al-Qur’an.
H.
M. Arifin dal;am bukunya ilmu
pendidikan agama islam menjelaskan yang dimaksud dengan pendidikan islam adalah
menanamkan akhlak dan takwa serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk
manusia yang berbudi pekerti luhur menurut ajaran islam. [20]
Sementara
Menurut H. A. Rahman Getteng yang mengomentari pendidikan islam di Indonesia
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan islam di Indonesia adalah terbentuknya
manusia muslim yang memiliki budi pekerti luhur dan berkepribadian pancasila. [21]
Sedangkan
Syahminan Zaini merumuskan bahwa pendidikan islam ialah usaha mengembangkan
fitra manusia dengan ajaran agama islam, agar terujud (tercapai) kehidupan
manusia yang makmur dan bahagia.
Berbagai
batasan mengenai pendidikan islam yang telah penulis ketengahkan di atas, pada
intinya memiliki suatu kesamaan persepsi tentang tujuan diterapkannya
pendidikan islam. Yakni pada intinya diharapakan manusia tersebut dapat
terbentuk kepribadiannya menjadi manusia yang sempurna yang diistilahkan insan Kamil. Maka untuk membentuk sosok
manusia sempurna tersebut tentunya bukan hal yang mudah dalam suatu proses
pendidikan islam, apabila hal itu tidak memilki pilihan yang jelas dan tegas
mengenai konsep pendidikan yang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan
islam. Orientasi pendidikan islam adalah memenuhi kebutuhan umat manusia yang
menambahkan kemajuan yang dapat mensejahterahkan hidupnya masa kini, masa
datang dan masa depannya di ahirat kelak. [22]
Istilah
tarbiyah yang dijadikan konsep untuk memaksudkan pendidikan islam, telah umum
dipakai atau digunakan menurut Al-Nahlawi dan Baidhawi bahwa istilah pendidikan
tersebut memenuhi atau mencakup 4 (empat) unsure yaitu:
1. Menjaga
dan memlihara fitrah anak menjelang dewasa (balig)
2. Mengembangkan
seluruh potensi
3. Mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan
4. Dilaksanakan
secara bertahap. [23]
Menurut
hasan Langgulung dalam bukunya pendidikan dan peradaban islam, menjelaskan
bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di barat sangat menekankan pada aspek
pengajaran dan latihan, dan sedikit sekali menekankan perhatian pada aspek
bagaimana pendidikan tersebut dapat dibentuk sehingga mampu melahirkan sikap
siterdidik agar mempuhnyai akhlak yang menjadi dasar dari setiap budaya. [24]
Pendidikan
islam pada dasarnya adalah merupakan upaya pembinaan dan pengembangan potensi
manusia agar tujuan kehadirannya didunia sebagai hamba dan sekaligus sebagai
khalifa Allah.
Pendidikan
islam merupakan tema yang sengaja diangkat untuk melihat dan meneliti tentang
kelayakannya dalam penerapan proses keberhasilannya pada lembaga pendidikan
umum dalam rangka pembinaan pengajaran serta pembentukan peserta didik (siswa)
menuju manusia yang paripurna menurut kehendak agama islam. Menurut H.
Zuhairini dalam Namsa[25]
mendefinisikan pendidikan agama sabagai usaha-usaha secara sistematis dan
pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran
islam. Sedangkan, pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan agama kepada
anak, supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.
Rumusan
pengertian-pengertian pendidikan di atas kiranya dapat membantu pemahaman
tentang pengertian pendidikan/pengajaran agama islam dengan tetap berpijak pada
peradaban-peradaban dan persamaan-persamaan sehingga akan muncul kearufan dan
kebijakan untuk menelaah dan menerjemahkan sesuai kondisi serta kebutuhan itu
sendiri. Maka pendidikan agama islam adalah usaha sadar yang berlangsung dalam
kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, melalui bimbingan,
pengajaran, dan latihan dalam membentuk kepribadian serta kebahangiaan dan
kesejahteraan hidupnya.
D.
Lambatnya Rumusan Pendidikan Islam
Terhadap Arus Perubahan Sosial
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun
nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat
formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan
untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam
beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi
masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat,
bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat
selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.[26]
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran
yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek
materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai
akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap
adanya kebutuhan akan pendidikan.
Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak
tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang
bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek
dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara
pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh
dasarnya dan tidak memiliki cirri khas keagamaan secara baik.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu
mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan
nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam
menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah
modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat
industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam
beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan
konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon
yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke
dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan
penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan
nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang
asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja
nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam
itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya.
Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai
sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari
entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau
besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina
hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam,
lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya,
sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan
Muslim.[27]
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini,
ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi
yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau.
Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh
masyarakat yang berada di ujung lain.² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan
tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya
batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the
end of the nation state.
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini
sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia,
dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar
internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They
locked together in what has been referred to as the economic world system.
Adapun jika melihat diskursus diatas, maka
respon lembaga pendidikan Islam dewasa ini dapat dikatakan terbagi kepada 2
(dua) bagian, dimana kedua respon ini memiliki daya positif yang perlu kita
kaji secara seksama.
Pertama, lembaga pendidikan Islam yang tetap berpegang
teguh pada tradisi ilmiah konvensional. Lembaga pendidikan Islam yang memiliki
corak seperti ini masih dapat kita temukan pada pondok-pondok pesantren salaf,
dimana mereka tetap mempertahankan metode pengajian dan pembelajaran yang
dilaksanakan sama dengan (tanpa perubahan) dengan system yang telah ada
semenjak lembaga pendidikan tersebut didirikan. Karena asumsi mereka perubahan
yang ada, terutama perubahan yang terjadi dari sisi ekonomi, globalisasi
dikhawatirkan dapat merusak tatanan pendidikan keislaman dan akhlak peserta
didik.
Kedua, lembaga pendidikan Islam yang terbuka dan
senantiasa menyesuaikan perkembangan zaman. Lembaga seperti ini dapat ditemukan
pada pondok pesantren modern serta lembaga pendidikan Islam yang telah
menyelenggarakan Madrasah. Dimana mereka tidak hanya mengajarkan tentang
kurikulum keagamaan sebagai pondasi pembinaan keimanan dan akhlak peserta
didik, tetapi lembaga pendidikan Islam jenis ini pun menerapkan system
tekhnologi dan informasi untuk menerjemahkan ilmu kepada peserta didiknya.
Namun bagaimanapun, berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin
dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal,
yaitu:
1. Tercapainya
tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2. Tercapainya
tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapainya
tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).[28]
F.
Respon Perubahan Sosial Terhadap
Lembaga Pendidikan Islam
Permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa
problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama,
secara struktural lembaga-lembaga
pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali
Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul
adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas.
Dampaknya kekurangan fasilitas, peralatan dan juga terbatasnya upaya
pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak
melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per
siswa atau mahasiswa.
Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam
dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana
kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan
termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah,
sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat. Sehubungan dengan itu perlu dikaji
secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan
eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata
dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren
dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”.
Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya
ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan
Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dapat dilihat dari
outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah
jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta
yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam
seperti di atas.
Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana
pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga
administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional
masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan
lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.[29]
Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang
memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh
tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan
agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat
Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti
itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan
Islam untuk diraih.[30]
F. Kesimpulan.
pengertian pendidikan islam sebagai
uapya menggembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan,
maupun perbuatan. Sebenaranya pendidikan dan pendidikan islam tidak jauh
berbeda, dilihat dari pengertiannya. Beda dengan pendidikan yang ada di barat,
dimana Pengertian Pendidikan Barat. Seperti yang ditulis sebelumnya bahwa
tujuan pendidikan itu tidak bisa lepas dari tujuan hidup manusia. Sebab
pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara
kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat. Dengan begitu tujuan pendidikan harus berpangkal pada tujuan hidup.
Di Barat, pendidikan menjadi ajang pertarungan ideologis dimana apa yang
menjadi tujuan pendidikan secara tidak langsung merupakan tujuan hidup
berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain . Di sinilah perbedaan pendapat
para filosof Barat dalam menetapkan tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam
firman Allah SWT yang menggambarkan orang-orang Dahriyyun (Naturalist), Mereka
berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati kita hidup,
tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Sedangkan mereka dalam hal ini
tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah menyangka-nyangka.
Pada
tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari
bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut
seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum.
Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis
implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi
pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/
pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta
ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs,
SMUI/MA/K dan PTAI.
Berbagai
persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat
dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di
disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam
telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif
pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan
sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai
Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
Apabila
dipandang dari era modern ini. Perumusan pendidikan islam harus modern, yaitu;
pendidikan islam sebisa menyentuh setiap
aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus
menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di
dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan
dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif
tidaknya cara mengajar.
G. Implikasi
Tidak banyak berbeda dengan praktek
pendidikan lain pada umumnya, pendidikan Islam juga terkena demam pendidikan
sebagai pabrik tenaga kerja. Bahkan dalam kasus tertentu lembaga pendidikan
Islam kalah jauh dalam menciptakan tenaga kerja andal terutama di bidang
teknologi. Pada dasarnya dunia pendidikan Islam tidak seharusnya menolak
terhadap praktek pendidikan tekno-okonomis oriented. Selama
memperhatikan dimensi-dimensi intelektual, kultural, nilai-nilai transendental,
keterampilan fisik, dan kepribadian, maka orientasi tersebut justru amat
diperlukan. Hal ini menandakan bahwa seharusnya praktek pendidikan harus mampu
mengintegrasikan kebutuhan pragmatis dan obyektif dengan kebutuhan idealisme.
Pendidikan bukan sekedar industri tenaga kerja atau intelektual, tetapi
sekaligus menumbuhkembangkan industri ukhrawi dan duniawi; sekuler sekaligus
transenden. Lembaga pendidikan Islam seharusnya mengintegrasikan dimensi
kecerdasan, moralitas, dan profesionalitas dan menjadikannya sebagai orientasi
dalam pelaksanaan pendidikan.
[2] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet I; Jakarta: PT Bumi
Aksara 2003), hal. 12
[3] Sekertaris MPR/DPR RI, 1999. GBHN 1999-2004, Jakarta : Sekretariat
MPR-RI, hal. 60
[4] George J. Mouly, tth. Psychology for effective Teaching, New
York: Holt Rincheat and Winston, hal. 278
[5] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan.., Op.Cit, hal. 77
[7] http://islam.murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi
Islam/, di akses
pada tanggal 12 Oktober 2014
[9] http://illsionst.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-di-era-globalisasi.html , di akses pada tanggal 12
Oktober 2014
[10] Ahmad Arifin, (ed). Politik
Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di
Tengah Arus Globalisasi. (Cet.II; Yogyakarta: Teras, 2009). hal. 1
[11] Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Cet.I; Jakarta: Rineka Cipta. 2009), hal. 7
[12] Ahmad Arifin, (ed). Politik
Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan ...., Op.Cit, hal. 36.
[13] H.M. Arifin., Opcit., hal. 24
[14] Ibid, hal. 12
[15] Mortimer, j. Adler, 50 pemikir
paling berpengaruh terhadap dunia pendidikan modern
[16] Ibid. hal.
13
[17] Filsafat pendidikan islam, Muzayyin Arifin Hasil kongres se-Dunia
tentang pendidikan islam dan kurikulum pendidikan islam tahun 1980., hal.
15
[18] Muhammad Fadiil Al-Jawali, Filsafat Islam. (Cet
II; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998),
hal. 17
[19] Ibid,., h 17
[20] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Op. Cit.., hal. 21
[21] H.A. Rahman Getteng, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, (Cet II, Jakarta: Bumi Aksara Bandung 2006), hal.
56
[22] Yunus Namsa, Metodologi Pendidikan Islam, (Cet.I; PT Surya Sarana Utama divisi Grafika,
2003). hal. 39
[23] Al-Nahlawi dan Badawi, Filsafat Islam. (Cet. II., Bandung: Mizan 2001), hal. 21
[24] Hasan Langgulung, pendidikan Dan Peradaban Islam., (Cet.
I, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), hal. 54
[25] Yunus Namsa, Op. Cit. ……hal. 7
[26] Hasan Langgulung, pendidikan Dan.., Op.Cit, hal. 71
[27] Al-Nahlawi dan Badawi, Filsafat Islam, Op.Cit. hal. 55
[28] Ahmad Arifin, (ed). Politik
Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan ...., Op.Cit, hal. 44
[29] Ibid, hal. 50-51
[30] Hasan Langgulung, pendidikan Dan.., Op.Cit, hal. 121
Komentar
Posting Komentar