![]() |
Oleh: Sahrul Takim |
Hidup ini adalah pergiliran antara satu kenyataan dengan kenyataan berikutnya. Dari sejak awal dilahirkan di dunia ini, manusia sudah bersua dengan berbagai peristiwa dan ujian. Entah disadari atau tidak, yang jelas begitulah faktanya. Ada susah-senang, duka-suka, derita-bahagia, sakit-sehat, benci-gembira, tangis-tawa dan seterusnya. Semuanya dipergilirkan. Begitu kata sebagian orang bijak mengingatkan.
Masuk dalam medan baru kehidupan atau apa yang dikenal dengan kehidupan dunia adalah pilihan takdir yang sudah diatur oleh Sang Kuasa. Tak ada yang mampu menolaknya. Tidak ada yang mampu ‘mengawali’ dan tidak ada yang mampu ‘mengakhiri’. Sebab kehadiran manusia—melalui rahim suci sang bundanya—adalah takdir yang tak mampu ditakar akal dan kemampuan manusia. Begitu juga, ketika kelak meninggal. Ia adalah takdir Sang Kuasa.
Aku sebagai salah satu dari miliyaran manusia yang menghirup nafas di dunia ini tentu punya alur hidup tersendiri. Mau bagaimana aku menjalani kehidupan sekarang dan bagaimana kehidupanku kelak itu sangat ditentukan oleh sejauh mana aku memaknai hidup ini secara sempurna. Dari pemahaman dan pemaknaan yang sempurna terhadap kehidupan akan membantuku untuk melakukan banyak hal, terutama agar apa yang kuinginkan terwujud menjadi kenyataan. Tentu saja, semuanya berada dalam lingkup perhitungan Sang Kuasa, Allah SWT.
Ditengah hiruk pikuk dinamika manusia yang konon katanya semakin modern, Aku rela diasingkan dari keberingasan kota ini, tempat perebutan orang-orang hebat, terkadang juga tempat prostitusi politik dan tempat transaksi harga diri. Aku Ikhlas Bersila tenang di bawah deras pecahan ombak, di temani hembusan angin, menyusuri persimpangan. Riak tawa anak kampung di bawah senja itu, menyisakan kesejukan tak terelakkan.
Keinginan untuk kembali memanjat dahan pohon, bebas memilih bergantung diranting terkuat, menghidup udara segar tanpa polusi, air bersih tanpa limbah dan berteman dengan cangkul tanpa ada bunyian mobil truk dan buldozer. Memanfaatkan sepenuhnya fasilitas ini sebagai persembahan tulus dari Sang Khalik.
Menyadarkan ku bahwa ketika arsitektur romawi dalam membangun gedung-gedung bersejarah di daratan eropa, para ilmuan, ekonom, teknokrat dan politikus sibuk membangun konsep Four Point Zero (4.0) hingga Five Poin Zero (5.0) ternyata tak mampu menghapus, kerinduan ku akan kepolosan wajah ayu Desa Ona, kampung halaman tercinta.
Megahnya gedung-gedung modern pencakar langit di kota pusat peradaban dunia ini, Tak mampu mengobati rasa kangen ku pada kebersahajaan dan keaslian pemandangan pantai dengan berjejernya armada giup penangkap ikan julung (Roa) di kampung halaman.
Betapa pun cantik dan tampannya, betapa elite manusia-manusia bergaya hidup tinggi di kota ini, tak mampu meluluhkan rindu ku melihat keluguan dan kepolosan wajah-wajah para petani dan nelayan di kampung halaman yang tulus membesarkan ku tanpa mengenal PROYEK, TENDER, SWAKELOLA dan PENUNJUKAN LANGSUNG (PL).
Inilah cerita ku. Cerita tentang anak kampung. Cerita yang tak bernilai sama sekali dimata kalian namun tidak untuk ku.
Komentar
Posting Komentar