Langsung ke konten utama

Meretas Paradigma Pembebasan dalam Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Paulo Friere



Oleh: Sahrul Takim

ABSRAK
Kritik yang selalu muncul dalam pendidikan Islam adalah model pembelajaranya yang doctrinal, dogmatis, dan kurang memberikan ruang gerak bagi peserta didik. Oleh karena itu, tulisan ini menuturkan tentang model pendidikan Islam yang didasari dengan paradigma pembebasan. Pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata dan menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. mentranfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.
Pendidikan Islam sebenarnya bersifat emansipatoris, yaitu berusaha melepaskan manusia dari kungkungan dalam bentuk apapun, dengan harapan akan menumbuhkan keberanian untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah SWT. Pendidikan islam sebagai praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai para digma pembebasan, dimana pendidkan islam diartikan sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri. Dalam agama Islam sendiri berusaha memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Pada posisi inilah, kebebasan seiring dengan konteks nilai-nilai tersebut.

A.      Pendahuluan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[3] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu aliran dalam pendidikan adalah model pendidikan pembebasan yang dicanangkan Paulo Freire. Menurutnya pendidikan adalah praktik pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog.
Untuk itu, sekolah sebagai lembaga yang berperan membentuk kepribadian anak harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Sekolah seharusnya menjadi tempat dimana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan tidak terjadi sebaliknya, di sekolah anak-anak muram, kegelisahan, kehilangan kebahagiaan, dalam menghadapi guru dalam melihat fenomena yang demikian inilah, Nampak pula penindasan, bahkan penindasan dalam hal yang kelihatannya netral dalam pendidikan. Di sana peserta didik sudah diperalat oleh kekuasaan tuannya untuk menggarap apa saja yang di kehendakinya.
Karena itu Paulo Freire membuat reformulasi, bagaimanakah mencari model pendidikan yang dapat membebaskan manusia dari penindasan yang tidak di sadarinya oleh karena itu pendidik seharusnya membuat peserta didik sadar siapa dirinya dan bagaimana hubungan dirinya dengan dunia luar.
Salah satu kritik yang muncul adalah bahwa pendidikan mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa proses pendidikan mengalami “kegagalan” ketika melihat beberapa kasus yang lalu muncul ke permukaan. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan yang bermodelkan seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki benang merah pemikiran yang jelas.
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.
Tapi, pendidikan selama ini hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.[4]

B.       Hakikat Pendidikan Pembebesan
Pembebasan berakar dari kata dasar bebas, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa. Dari pengertian diatas, secara sederhana dapat dipahami bahwa “bebas” merupakan situasi atau keadaan yang memungkinkan bergeraknya suatu hal sesuai dengan yang dikehendaki tanpa adanya bayang-bayang pemaksaan dan diktatorisasi dari pihak manapun. Dalam terminologi Paulo Freire, pembebasan bermuara pada realitas dikotomi peran guru dan peserta didik yang dikonsepsikannya dengan istilah banking of Education.[5]
Perspektif Paul Freire Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horizontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara pemdidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah humanisasi, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi. Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.[6]
Pendidikan secara sederhana ialah proses memanusiakan manusia melalui usaha sadar dan terencana. Sedangkan pembebasan ialah terciptanya suatu situasi, ketika tidak ada ikatan-ikatan, tekanan, dan intervensi yang menghalang-halangi dalam melakukan sesuatu sesuai kehendak diri sendiri. Jadi, Pendidikan pembebasan merupakan proses memanusiakan manusia melalui sebuah kesadaran untuk melepaskan diri dari bentuk penindasan yang hegemonik dan dominatif, yang keduanya menjadi penghambat bagi tegaknya pilar-pilar pembebasan.[7]
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[8]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[9] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[10] Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).[11]
Keprihatinan Friere terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan”.[12]
Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;
“(manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia­-kan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[13]
Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilankan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”.
Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi “cita-cita”-nya adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[14] Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan…”.[15]
Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran (conscientizacao)”.[16]
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).

C.      Model-model Pendidikan Pembebasan
1.      Model Dialog (konsientasi)
Paulo Freire sangat menentang pendidikan “gaya bank” yang mencerminkan masyarakat tertindas yang menunjukkan kontradiksi.Pendidikan gaya bank tersebut antara lain:
a.         Guru mengetahui segala sesuatu, peserta didik tidak tahu apa-apa.
b.        Guru berfikir, peserta didik difikirkan.
c.         Guru bercerita, peserta didik mendengarkan.
d.        Guru mengatur, peserta didik diatur.
e.         Guru memilih dan memaksakan pilihannya, peserta didik menyetujui.
f.         Guru berbuat, peserta didik membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
g.        Guru memilih bahan dan isi pelajaran, peserta didik menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
h.        Guru mencampuradukan jabatan dan kewenangan ilmu untuk menghalangi kebebasan peserta didik.
i.          Guru adalah subyek, peserta didik adalah obyek dalam proses belajar mengajar.[17]
j.          Guru mengajar, murid belajar.[18]
Untuk menentang pendidikan model banking tersebut Paulo Freire menawarkan pendidikan model dialog atau Konsientasi (penyadaran) yaitu sebuah model belajar dengan cara memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.
Menurutnya, pendidik hendaknya membimbing peserta didik (yang punya ilmu yang diketahui oleh gurunya), supaya dia menjadi sadar tentang masalah-masalah kontradiksi dalam dunianya dan mencari sendiri cara-cara memecahkannya. Dengan begitu bukan hanya pendidik saja yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan relitas, tetapi peserta didikpun juga mampu untuk memecahkan realitas sosial yang terjadi didalamnya.[19]
2.      Model Kritik (masifikasi)
Pada model ini peserta didik dibimbing supaya mengetahui struktur sosial, ekonomi, budaya, agama, dan politik dan tidak menerimanya begitu saja, tetapi malah mempersoalkan hal-hal yang tidak adil. Pendidik dan peserta didik mempersoalkan bersama hal-hal yang menyusahkan kehidupan rakyat.
Pendidikan kritis intinya membantu terbentuknya sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran naif masyarakat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah termakan irrasionalitas. Dengan menggunakan konsep pendidikan pembebasan versi Paulo Friere kita akan melihat problema-problema pendidikan islam yang ada pada saat sekarang ini.[20]

D.      Pendidikan Islam Sebagai Praktik Pembebasan
Berdasarkan cermin PauloFreire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allahuntuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh PauloFreire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineer  menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.[21]
Islam sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. Al-Qhashas:5), hal ini semakin menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.[22]
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah mekalukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner.[23] Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan.[24]
Sementara itu, di dalam Al Qur’an  terdapat kata-kata tentang ilmu  dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali,[25] Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah  kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). "Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".[26] "Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya  kekuatan intelektual   yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit".[27]
 Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal  untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang  metarealitas, yakni   suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah (wakil Tuhan) di alam semesta ini.
Pendidikan Islam sebagai praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai paradigma pembebasan, dimana pendidkan Islam diartikan sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri. Dengan instrumen akal budi pula pendidikan dalam Islam dimaknai sebagai proses rasioalisasi dan intelektualisasi. Ada tiga hal yang ingin dibebaskan dalam pendidikan Islam yakni:
1.      Bebas dari pola pikir dikotomis keilmuan atau bahkan polarisasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sejarah meenunjukkan bahwa pola dikotomis keilmuan dalam Islam ini muncul sejak abad ke-12 yang diusung oleh al-Ghazali, sebagai akibatnya umat Islam lebih suka mendalami ilmu-ilmu keagamaan dengan supremasi fiqh tanpa diimbangi ilmu lain.
2.      Bebas dari pemasungan kesadaran (internal dan eksternal) yang menyebabkan melemahnya kondisi peserta didik. Hal ini disebabkan adanya budaya kekerasan terhadap peserta didik yang lebih mementingkan punishment (hukuman), daripada reward (hadiah).
3.      Bebas dari praktik-praktik pendidikan yang membelenggu kreatifitas dan kebebasan berfikir peserta didik. Akibat dari pendidikan semacam ini timbul kultur bisu dan memudarnya kritisisme masyarakat yang mengakibatkan menipisnya percaya diri, self-reliance dan self-esteem. Akibat lainya adalah adanya kecenderungan pasif dalam dimensi politik dan budaya.
Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai praktik pembebasan manusia dalam proses pendidikan harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu:
1.      Pendidikan harus dipahami dalam posisinya secara metodologis, dimana pelaksanaan pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis,terbuka, dan dialogis serta tidak bebas dari moral.
2.      Pendidikan Islam sebagai proses pewarisan nilai-nilai keislaman atau transfer of Islamic Values. Nilai-nilai keislaman yang dimaksud disini adalah tauhid, yaitu tidak ada penghambaan kepada yang selain Allah yang berarti bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain, seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan “dua kalimat Syahadat” berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah. Adapun kebebasan manusia disini dibatasi oleh hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Allah yang sejalan dengan filsafat yang mendasari penciptaan manusia. Manusia yang di idam-idamkan oleh Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya adalah manusia yang cerdas, mampu berfikir dan juga mampu menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.[28]

E.       Penutup
Pendidikan pembebasan merupakan proses memanusiakan manusia melalui sebuah kesadaran untuk melepaskan diri dari bentuk penindasan yang hegemonik dan dominatif, yang keduanya menjadi penghambat bagi tegaknya pilar-pilar pembebasan.
Pendidikan islam sebagai praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai para digma pembebasan, dimana pendidkan islam diartikan sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri.
Manusia tidak bisa diperbudak dan dipasung kebebasannya, sehingga tidak boleh menurut dan terikat pada ikatan yang membelenggu kebebasannya. Pendidikan Islam dapat mewujud menjadi pendidikan pembebasan apabila proses pelaksanaan pendidikan Islam dapat dilaksanakan secara demokratis, dialogis dan terbuka serta berupaya menanamkan nilai-nilai tauhid, sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi manusia yang bertaqwa.









DAFTAR PUSTAKA

A. Azizy, Qodri, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003

Audah, Ali, Konkordasi Qur’an, Bandung : Mizan, 1997

Engineer, Asghar Ali, Islam danTeologiPembebasan, Yoyakarta :PustakaPelajar, 1999

Escobar, M. dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 2001

Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Cet Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Friere, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), Jakarta : LP3ES, 1985

Iqbal, Muhammad, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, (trj). Jakarta : Tintamas, 1966

Karim, Rusli, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999

Karim, Rusli, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999

Khalsun, Ibn, Mudaddimah, (trj), Jakrta : Pustaka Firdaus, 2000

Khobir, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam LandasanTeoritis dan Praktis, Cet ke-3 Pekalongan: STAIN Press Pekalongan, 2011

Kleden, Ignas, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta : LP3ES, 1984

Langgulung, Hasan,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung ; al-Maarif, 1980

Rahmat, Jalaludin, Reformasi Sufistik, Bandung : Pustaka Hidayah, 2002

Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, Jakarta : LP3ES, 1984

Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Persepektif Barat & Timur, Cet ke-1 Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011



[1] Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[2] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[3] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[4] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
[5]Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Persepektif Barat & Timur, Cet ke-1 (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.52-53.
[6] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Op.Cit, hlm.92.
[7] Umiarso & Zamroni,Op. Cit., hlm. 39.
[8]  Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Op.Cit, hlm.92.
[9]Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[10] Lihat Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985), terutama pada Bab. 2
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Paulo Friere, Pendidikan Sebagai…… Op.Cit, hlm. 6 – 7.
[14] Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[15] Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[16] M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
[17] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam LandasanTeoritis dan Praktis, Cet ke-3 (Pekalongan: STAIN Press Pekalongan, 2011), hlm. 140
[18] Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Cet Ke-2 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
[19] Abdul Khobir,Loc. Cit.
[20] Ibid., hlm. 141-142.
[21] Asghar Ali Engineer, Islam danTeologiPembebasan, (Yoyakarta :PustakaPelajar, 1999), hlm. 34 – 35.
[22] Lihat misalnya Musa dengan melakukan pembebasan bagi kaum Israel atas Fir’un, Luth dengan upaya membebaskan kaumnya dari “hegemoni” nafsu heteroseksual, Ibrahim melakukan pembebasan dari tekanan Namruj, dan lainnya.
[23] Jalaludin rahmat menyebutnya sebagai seorang “Reformis”, karena kemampuan Nabi dalam melakukan pembaharuan diberbagai bidang kehidupan masyarakat Islam di Semenanjung Arabia. Lihat Jalaludin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002), hlm 17 – 20.
[24] Asghar Ali Engineer, op cit, hlm 46.
[25] Ali Audah, Konkordasi Qur’an, , (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 278 – 279.
[26] Ibn Khalsun, Mudaddimah, (trj), (Jakrta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 669.
[27] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, (trj). (Jakarta : Tintamas, 1966), hlm. 129.
[28] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm. 143-145.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKILAS MENGENAL ABANG RUDI

Rudi Duwila, Keseharian biasanya saya sapa beliau dengan panggilan Abang Rudi. Panggilan ini memang sangat kental dikalangan warga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sepengetahuan dan sepengalaman saya, beliau adalah sosok kakak yang sederhana, dermawan, murah senyum, sapa sesama, sabar, rendah hati dan banyak lagi yang patut untuk di dijadikan teladan.  Sebagasi yunior saya adalah salah satu yang mendapat perlindungan dari Bang Rudi waktu berproses menjadi mahasiswa kala itu, saya sangat merasakan perlindungan dari beliau diantara para senior lain kala itu, sebut saja Budi Banapon,  Bustamin Sanaba , Ipa Irfan  dan lain-lain, karena setahu saya sewaktu mulai aktif di HPMS Cabang Kepulauan Sula sejak tahun 2013 dengan Jabatan Ketua Komisariat HPMS STAIN Sanana, mereka inilah senior yang saya kenal. Perlindungan dan Kasih sayang para senior termasuk Bang Rudi  dapat resapi dalam pola kehidupan berorganisasi dan kesehariannya. Dalam setiap gerakan aksi demonstrasi yang sa...

“PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM”

CATATAN KECIL                                                                              O L E H : SAHRUL TAKIM   BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Pendidik (Guru) merupakan salah satu hal terpenting dalam proses pendidikan. Tugas guru sebagai pendidik merupakan hal yang sangat mulia di sisi Allah SWT dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Tapi penghargaan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru yang bekerja secara tulus dan ikhlas dalam mengajar peserta didiknya, atau bisa disebut juga guru tersebut bekerja secara professional...

Kampung Ku Dunia Ku; Sebuah Cerita

Oleh: Sahrul Takim   Hidup ini adalah pergiliran antara satu kenyataan dengan kenyataan berikutnya. Dari sejak awal dilahirkan di dunia ini, manusia sudah bersua dengan berbagai peristiwa dan ujian. Entah disadari atau tidak, yang jelas begitulah faktanya. Ada susah-senang, duka-suka, derita-bahagia, sakit-sehat, benci-gembira, tangis-tawa dan seterusnya. Semuanya dipergilirkan. Begitu kata sebagian orang bijak mengingatkan. Masuk dalam medan baru kehidupan atau apa yang dikenal dengan kehidupan dunia adalah pilihan takdir yang sudah diatur oleh Sang Kuasa. Tak ada yang mampu menolaknya. Tidak ada yang mampu ‘mengawali’ dan tidak ada yang mampu ‘mengakhiri’. Sebab kehadiran manusia—melalui rahim suci sang bundanya—adalah takdir yang tak mampu ditakar akal dan kemampuan manusia. Begitu juga, ketika kelak meninggal. Ia adalah takdir Sang Kuasa. Aku sebagai salah satu dari miliyaran manusia yang menghirup nafas di dunia ini tentu punya alur hidup tersendiri. Mau bagaimana aku menjalan...