Oleh: Sahrul Takim
ABSRAK
Kritik yang selalu muncul dalam
pendidikan Islam adalah model pembelajaranya yang doctrinal, dogmatis, dan
kurang memberikan ruang gerak bagi peserta didik. Oleh karena itu, tulisan ini
menuturkan tentang model pendidikan Islam yang didasari dengan paradigma
pembebasan. Pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata dan menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa
depan. mentranfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban.
Pendidikan Islam sebenarnya bersifat
emansipatoris, yaitu berusaha melepaskan manusia dari kungkungan dalam
bentuk apapun, dengan harapan akan menumbuhkan keberanian untuk tunduk dan
patuh hanya kepada Allah SWT. Pendidikan islam sebagai
praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai para
digma pembebasan, dimana pendidkan islam diartikan sebagai proses penyadaran
diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi
manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri. Dalam agama Islam
sendiri berusaha memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar,
mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,
mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas".
Pada posisi inilah, kebebasan seiring dengan konteks nilai-nilai tersebut.
A.
Pendahuluan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian),
manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia
lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi
dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan
sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa
depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan
peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi
pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer,
melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan.[3]
Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika
terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan
kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan
seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi
budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara
akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan.
Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang
kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu aliran dalam
pendidikan adalah model pendidikan pembebasan yang dicanangkan Paulo Freire. Menurutnya pendidikan
adalah praktik pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik
saja dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog.
Untuk itu,
sekolah sebagai lembaga yang berperan membentuk kepribadian anak harus
ditempatkan sebagaimana mestinya. Sekolah seharusnya menjadi tempat dimana
anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan tidak
terjadi sebaliknya, di sekolah anak-anak muram, kegelisahan, kehilangan
kebahagiaan, dalam menghadapi guru dalam melihat fenomena yang demikian inilah,
Nampak pula penindasan, bahkan penindasan dalam hal yang kelihatannya netral
dalam pendidikan. Di sana peserta didik sudah diperalat oleh kekuasaan tuannya
untuk menggarap apa saja yang di kehendakinya.
Karena itu Paulo Freire membuat reformulasi,
bagaimanakah mencari model pendidikan yang dapat membebaskan manusia dari
penindasan yang tidak di sadarinya oleh karena itu pendidik
seharusnya membuat peserta didik sadar siapa dirinya dan bagaimana hubungan
dirinya dengan dunia luar.
Salah satu kritik yang muncul adalah bahwa
pendidikan mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena
pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai
kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa proses pendidikan
mengalami “kegagalan” ketika melihat beberapa kasus yang lalu muncul ke permukaan.
Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat. Oleh karena itu,
reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu
gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam
kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan
belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita
yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu
problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah
dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan yang bermodelkan
seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil yang tidak bisa
dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki benang merah
pemikiran yang jelas.
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak
bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi
orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa
diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah
cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan. Pendidikan bukan hanya berupa
transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi
juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke
dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak
kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan
pendidikan yang dilakukan secara humanis.
Tapi, pendidikan selama ini hanya sebagai momen
“ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan.
Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari
sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang
ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja
yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan
integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung
banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal
mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli
pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa
kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola
uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang
tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional
tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini
masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah
diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas
didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat
politik penguasa.[4]
B.
Hakikat Pendidikan
Pembebesan
Pembebasan berakar dari kata dasar bebas, yang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna tidak terhalang,
terganggu, dan sebagainya sehingga bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya
dengan leluasa. Dari pengertian diatas,
secara sederhana dapat dipahami bahwa “bebas” merupakan
situasi atau keadaan yang memungkinkan bergeraknya suatu hal sesuai dengan yang
dikehendaki tanpa adanya bayang-bayang pemaksaan dan diktatorisasi dari pihak
manapun. Dalam terminologi Paulo Freire, pembebasan bermuara pada
realitas dikotomi peran guru dan peserta didik yang dikonsepsikannya dengan
istilah banking of Education.[5]
Perspektif Paul Freire Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu
secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari
paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara).
Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini
sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih. Manusia juga mempunyai
kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua
kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada
Tuhan dan kebebasan horizontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media
kultural untuk membentuk manusia.
Kaitan antara pemdidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan.
Kata Driyarkara, pendidikan adalah humanisasi, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi. Jalan yang
ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model
“kapitalisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk
insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.[6]
Pendidikan secara sederhana ialah proses memanusiakan manusia melalui usaha
sadar dan terencana. Sedangkan pembebasan ialah terciptanya suatu situasi,
ketika tidak ada ikatan-ikatan, tekanan, dan intervensi yang menghalang-halangi
dalam melakukan sesuatu sesuai kehendak diri sendiri. Jadi, Pendidikan
pembebasan merupakan proses memanusiakan manusia melalui sebuah kesadaran untuk
melepaskan diri dari bentuk penindasan yang hegemonik dan dominatif, yang
keduanya menjadi penghambat bagi tegaknya pilar-pilar pembebasan.[7]
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada
kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral
yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya
kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak,
sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia
juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan
ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya
kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk
“manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa
dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media
dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi
(“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural.
Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”.
Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang
berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan
sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa
depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan
peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[8]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi
pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer,
melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan.[9]
Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika
terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan
kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan
seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi
budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara
akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan.
Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang
kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang
dari Paulo Friere. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin
masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi
alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya
dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan
gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang
menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan
yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[10]
Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya
(kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya
kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid
hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang
disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang
sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the
culture of silence).[11]
Keprihatinan Friere terhadap kaum tertindas (oppressed)
telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan
kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum
penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa
takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra
diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab.
Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan”.[12]
Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip
pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung
manusia modern ;
“(manusia)
menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya
bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak
bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika
mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan
penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan hal-hal yang
tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak
berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[13]
Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan
mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye
ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya
akan menghilankan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas.
Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas
zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau
kaum “elit”.
Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia
sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance itu muncul, berangkat dari
tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan
manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi. Sedangkan pada masa
gerakan Aufklaerung, yang menjadi “cita-cita”-nya adalah moral
rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[14]
Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa
yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari
ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah
tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi
atau oleh adat kebiasaan…”.[15]
Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang
pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara
kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan
kritis terhadap “realitas akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan
tersebut dengan memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran
(conscientizacao)”.[16]
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang
ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di
sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi
pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara
kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi
oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada
dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan
historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan
masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup
keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan
mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga,
pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan
pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai
adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah
negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki
visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia
hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan
kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk
yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam
manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada
kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita
terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika
dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal
dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah
sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan
(selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah
menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka,
revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada
awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan
ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat
baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang
kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan
realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan
kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal
kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu
mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin
didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi
terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam
buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan
pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki
batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum
tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan
batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain,
yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak
pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang
ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena
itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat
itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan
rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan
rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang
suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire
diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan,
menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi
"masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat
terbuka (open society).
C.
Model-model Pendidikan Pembebasan
1.
Model Dialog (konsientasi)
Paulo Freire sangat menentang pendidikan “gaya bank” yang mencerminkan masyarakat
tertindas yang menunjukkan kontradiksi.Pendidikan gaya bank tersebut antara
lain:
a.
Guru mengetahui segala
sesuatu, peserta didik tidak tahu apa-apa.
b.
Guru berfikir, peserta
didik difikirkan.
c.
Guru bercerita, peserta
didik mendengarkan.
d.
Guru mengatur, peserta
didik diatur.
e.
Guru memilih dan
memaksakan pilihannya, peserta didik menyetujui.
f.
Guru berbuat, peserta
didik membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
g.
Guru memilih bahan dan isi
pelajaran, peserta didik menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
h.
Guru mencampuradukan
jabatan dan kewenangan ilmu untuk menghalangi kebebasan peserta didik.
i.
Guru adalah subyek,
peserta didik adalah obyek dalam proses belajar mengajar.[17]
j.
Guru mengajar, murid
belajar.[18]
Untuk menentang pendidikan
model banking tersebut Paulo Freire menawarkan pendidikan model dialog atau Konsientasi (penyadaran) yaitu
sebuah model belajar dengan cara memahami kontradiksi sosial, politik, dan
ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari
realitas tersebut.
Menurutnya, pendidik
hendaknya membimbing peserta didik (yang punya ilmu yang diketahui oleh
gurunya), supaya dia menjadi sadar tentang masalah-masalah kontradiksi dalam
dunianya dan mencari sendiri cara-cara memecahkannya. Dengan begitu bukan hanya
pendidik saja yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan relitas, tetapi peserta
didikpun juga mampu untuk memecahkan realitas sosial yang terjadi didalamnya.[19]
2.
Model Kritik (masifikasi)
Pada model ini peserta
didik dibimbing supaya mengetahui struktur sosial, ekonomi, budaya, agama, dan
politik dan tidak menerimanya begitu saja, tetapi malah mempersoalkan hal-hal
yang tidak adil. Pendidik dan peserta didik mempersoalkan bersama hal-hal yang
menyusahkan kehidupan rakyat.
Pendidikan kritis intinya membantu terbentuknya sikap-sikap kritis,
mengangkat kesadaran naif masyarakat yang telah menenggelamkannya dalam proses
sejarah dan membuatnya mudah termakan irrasionalitas. Dengan menggunakan konsep pendidikan pembebasan
versi Paulo Friere kita akan melihat problema-problema pendidikan
islam yang ada pada saat sekarang ini.[20]
D.
Pendidikan Islam Sebagai
Praktik Pembebasan
Berdasarkan cermin PauloFreire sebagaimana
diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama
yang diturunkan Allahuntuk manusia. Pendidikan
pembebasan yang digelindingkan oleh PauloFreire
telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam
menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai
gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan
dalam segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam
kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam
sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap
perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas
spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang
telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.[21]
Islam sendiri adalah agama
pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara
sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan
keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan
tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami
bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan
menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. Al-Qhashas:5), hal ini semakin menegaskan bahwa
asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan
manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.[22]
Nabi Muhammad dalam
perjalanan sejarahya, telah mekalukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup
revolusioner.[23]
Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang
selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran
perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat)
kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah,
umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan
Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya),
artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju
cahaya keselamatan.[24]
Sementara itu, di dalam Al
Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk
(‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang
sebanyak 99 kali,[25]
Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen
Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan,
ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata
‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui,
mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek
atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam
pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini
didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki
kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan
berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). "Pengetahuan (‘ilm)
boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat
"suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau
boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".[26]
"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan
intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi
kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit".[27]
Menyimak dari pandangan Ibn
Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas
kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam
pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh
dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan.
Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit,
yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam
adalah sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling
utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro
kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan
merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam
ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas terutama
diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka
ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni suatu
kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses
penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati
menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).
Kesadaran inilah yang akan
membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah
kesadaran yang akan menghantarkan manusia pada posisinya sebagai abd (hamba)
sekaligus sebagai khalifah (wakil Tuhan) di alam semesta ini.
Pendidikan Islam sebagai praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal
budi manusia sebagai paradigma pembebasan, dimana pendidkan Islam diartikan
sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual,
serta mengakui eksistensi manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki
jati diri. Dengan instrumen akal budi pula pendidikan dalam Islam dimaknai
sebagai proses rasioalisasi dan intelektualisasi. Ada
tiga hal yang ingin dibebaskan dalam pendidikan Islam yakni:
1.
Bebas dari pola
pikir dikotomis keilmuan atau bahkan polarisasi antara ilmu agama dan ilmu
umum. Sejarah meenunjukkan bahwa pola dikotomis keilmuan dalam Islam ini muncul
sejak abad ke-12 yang diusung oleh al-Ghazali, sebagai akibatnya umat Islam
lebih suka mendalami ilmu-ilmu keagamaan dengan supremasi fiqh tanpa diimbangi
ilmu lain.
2.
Bebas dari
pemasungan kesadaran (internal dan eksternal) yang menyebabkan melemahnya
kondisi peserta didik. Hal ini disebabkan adanya budaya kekerasan terhadap
peserta didik yang lebih mementingkan punishment (hukuman), daripada reward
(hadiah).
3.
Bebas dari
praktik-praktik pendidikan yang membelenggu kreatifitas dan kebebasan berfikir
peserta didik. Akibat dari pendidikan semacam ini timbul kultur bisu dan
memudarnya kritisisme masyarakat yang mengakibatkan menipisnya percaya diri, self-reliance
dan self-esteem. Akibat lainya adalah adanya kecenderungan pasif dalam
dimensi politik dan budaya.
Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai praktik
pembebasan manusia dalam proses pendidikan harus dipahami dalam dua dimensi,
yaitu:
1.
Pendidikan harus
dipahami dalam posisinya secara metodologis, dimana pelaksanaan pendidikan
harus dilaksanakan secara demokratis,terbuka, dan dialogis serta tidak bebas
dari moral.
2.
Pendidikan Islam
sebagai proses pewarisan nilai-nilai keislaman atau transfer of Islamic
Values. Nilai-nilai keislaman yang dimaksud disini adalah tauhid, yaitu
tidak ada penghambaan kepada yang selain Allah yang berarti bebas dari belenggu
kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain, seseorang yang telah mengikrarkan
diri dengan “dua kalimat Syahadat” berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan
subordinasi apapun.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah mengarahkan
peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah. Adapun kebebasan
manusia disini dibatasi oleh hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh
Allah yang sejalan dengan filsafat yang mendasari penciptaan
manusia. Manusia yang di idam-idamkan oleh Islam pada umumnya, dan pendidikan
Islam pada khususnya adalah manusia yang cerdas, mampu berfikir dan juga mampu
menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.[28]
E.
Penutup
Pendidikan pembebasan
merupakan proses memanusiakan manusia melalui sebuah kesadaran untuk melepaskan
diri dari bentuk penindasan yang hegemonik dan dominatif, yang keduanya menjadi
penghambat bagi tegaknya pilar-pilar pembebasan.
Pendidikan islam sebagai
praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai para
digma pembebasan, dimana pendidkan islam diartikan sebagai proses penyadaran
diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi
manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri.
Manusia tidak bisa
diperbudak dan dipasung kebebasannya, sehingga tidak boleh menurut dan terikat
pada ikatan yang membelenggu kebebasannya. Pendidikan Islam dapat mewujud
menjadi pendidikan pembebasan apabila proses pelaksanaan pendidikan Islam dapat
dilaksanakan secara demokratis, dialogis dan terbuka serta berupaya menanamkan
nilai-nilai tauhid, sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi manusia yang
bertaqwa.
DAFTAR PUSTAKA
A. Azizy,
Qodri, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka
Ilmu, 2003
Audah,
Ali, Konkordasi Qur’an, Bandung :
Mizan, 1997
Engineer,
Asghar Ali, Islam danTeologiPembebasan, Yoyakarta :PustakaPelajar, 1999
Escobar,
M. dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 2001
Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan, Cet Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Friere,
Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), Jakarta : LP3ES, 1985
Iqbal,
Muhammad, Membangun Kembali Pemikiran Agama
dalam Islam, (trj).
Jakarta : Tintamas, 1966
Karim,
Rusli, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa
(ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1999
Karim,
Rusli, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa
(ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1999
Khalsun,
Ibn, Mudaddimah, (trj), Jakrta : Pustaka Firdaus, 2000
Khobir, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam LandasanTeoritis dan
Praktis, Cet ke-3 Pekalongan: STAIN Press Pekalongan, 2011
Kleden,
Ignas, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta : LP3ES,
1984
Langgulung,
Hasan,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung ; al-Maarif,
1980
Rahmat,
Jalaludin, Reformasi Sufistik, Bandung : Pustaka Hidayah, 2002
Sudjatmoko,
Pembangunan dan Pembebasan, Jakarta : LP3ES, 1984
Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam
Persepektif Barat & Timur, Cet ke-1 Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011
[1] Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits
Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[2] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan
Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[3] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan
Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita
dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[4] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika
Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
[5]Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam
Persepektif Barat & Timur, Cet ke-1 (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm.52-53.
[9]Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan
Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita
dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[10] Lihat Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj),
(Jakarta : LP3ES, 1985), terutama pada Bab. 2
[11] Ibid
[12] Ibid
[16] M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet.
III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
[17]
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam
LandasanTeoritis dan Praktis, Cet ke-3 (Pekalongan: STAIN Press Pekalongan,
2011), hlm. 140
[18]
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan, Cet Ke-2 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 1.
[21] Asghar Ali Engineer, Islam
danTeologiPembebasan, (Yoyakarta :PustakaPelajar, 1999), hlm. 34 – 35.
[22] Lihat misalnya Musa dengan melakukan pembebasan bagi kaum
Israel atas Fir’un, Luth dengan upaya membebaskan kaumnya dari “hegemoni” nafsu
heteroseksual, Ibrahim melakukan pembebasan dari tekanan Namruj, dan
lainnya.
[23] Jalaludin rahmat menyebutnya sebagai seorang “Reformis”,
karena kemampuan Nabi dalam melakukan pembaharuan diberbagai bidang kehidupan
masyarakat Islam di Semenanjung Arabia. Lihat Jalaludin Rahmat, Reformasi
Sufistik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002), hlm 17 – 20.
[27] Muhammad Iqbal, Membangun
Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, (trj).
(Jakarta : Tintamas, 1966), hlm.
129.
Komentar
Posting Komentar