PERAN MASYARAKAT DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN
Oleh: Sahrul Takim
A. Prolog
Peranserta,
untuk tidak menyebut prakarsa, masyarakat Muslim Indonesia dalam pendidikan dan
perguruan keagamaan sangat signifikan dan bahkan sangat dominan. Sepanjang
sejarah pendidikan Islam di kawasan ini, Masyarakat Muslim dalam skala yang
tetap besar bukan hanya berperan serta-artinya ikut “nimrung”-tetapi bahkan
mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan dan pemberdayaan
pendidikan keagamaan.[1]
Tuntutan
pengembangan sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh
karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut.
Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap
pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa pertumbuhan
hingga menjadi orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi
kebutuhan pokok seorang anak. Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan
individu merupakan peran dari kelompok masayarakat.[2]
Menurut
Al-Syaibani, masyarakat dalam pengertian yang paling sederhana ialah kumpulan
individu dan kelompok yang di ikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama.
Termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik, kepentingan bersama,adat
kebiasan, pola-pola, teknik-teknik, syistem hidup, undang-undang,institusi dan
segala segi dan phenomena yang di rangkum oleh masyarakat dalam pengertian luas
dan baru.[3]
Masyarakat
merupakan kelompok sosial terbesar dalam suatu negara. Selain di dalam
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, pendidikan juga dapat berlangsung di
dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat tentunya
berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada lingkungan keluarga dan sekolah.
Masyarakat yang terdiri dari individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya dalam sebuah mata
rantai kehidupan.
Bukan
hal yang asing, bila kita seringkali mendengar semboyan ini: Pendidikan adalah tanggung jawab bersama
antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tetapi pada
kenyataannya, sampai saat ini, peran serta masyarakat masih belum maksimal.
Walaupun sekarang semua sekolah telah membentuk Komite Sekolah yang pada
prinsipnya merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, namun belum
berfungsi dan berperan sebagaimana yang diharapkan. Karena itu kaitan
masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
1.
Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan baik
dilembagakan maupun tidak dilembagakan
2.
Lembaga-lembaga masyarakat atau kelompok sosial masyarakat
baik langsung maupun tidak langsung mempunyuai peranan dan fungsi edukatif.
3. Dalam masyarakat tersedia berbagai
sumber belajar, baik yang dirancang maupun tidak dirancang dan dimanfaatkan.[4]
Masyarakat adalah kumpulan individu
dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan, dan agama yang
memiliki cita-cita,peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.[5] Sedangkan
partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan. Hal itu
sesuai pula dengan hak masyarakat dalam pendidikan yaitu mereka dapat berperan
serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan.[6]
Masyarakat adalah sistem sosial yang
di dalamnya unit-unit melakukan saling hubungan dalam memberi aksi dan reaksi
terhadap setiap peristiwa. Setiap aksi-reaksi masyarakat merupakan respon
sekaligus stimulan bagi munculnya inovasi dan transformasi dalam masyarakat itu
sendiri. Proses tranformasi terjadi dalam struktur sosial melalui proses
komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung. Proses komunikasi itu kemudian
memberikan warna terhadap perubahan cara pandang dan budaya masyarakat melalui
agen perubahan. Agen perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Ia adalah
subyek sekaligus obyek dari perubahan yang terjadi di dalam.
Selama ini penyelenggaraan
partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program
pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan
pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan
pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan kepentingan
mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara individu atau
kelompok, spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat.
Masalahnya adalah Mengapa masyarakat perlu berperan dalam pendidikan agama;? Apakah
yang mendasari peran serta masyarakat dalam pendidikan agama? Dan Apakah bentuk
peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama?
B.
Pengertian Manajemen
Pendidikan Islam
Manajemen adalah mengetahui kemana yang
dituju, kesukaran apa yang harus dihindari, kekuatan apa yang harus dijalankan
dan bagaimana mengemudikan kapal anda serta anggota dengan sebaik-baiknya tanpa
pemborosan waktu dalam proses pengerjaannya.
Sedangkan manajemen pendidikan adalah
aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat agar terpusat dalam
usaha untuk mencapai usaha untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Manajemen pendidikan islam adalah suatu
proses pengelolaan lembaga pendidikan islam secara islami dengan cara
menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait untuk mencapai
tujuan pendidikan islam secara efektif dan efisien.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang
merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan,
ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia
karangan John M. Echols dan Hasan Shadily management berasal dari akar
kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan,
mengelola, dan memperlakukan.[7]
Ramayulis menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat
manajemen adalah al-tadbir (pengaturan).[8] Kata ini merupakan
derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat
dalam Al Qur’a
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى
اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ
مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur
urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu
hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (As Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat
di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam
(manager).Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam
mengelola alam ini.Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah
dijadaikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi
dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini.
Sementara manajemen
menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja
sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.
Dengan demikian maka
yang disebut dengan manajemen pendidikan Islam sebagaimana dinyatakan Ramayulis
adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga
pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak.[9] Pemanfaatan tersebut
dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan
produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di
akhirat.
C.
Dasar-dasar Peranan Masyarakat Dalam Pendidikan Agama
Diantara
dasar-dasar yang menjadi landasan peranan masyarakat dalam meningkatkan
kualitas pendidikan agama adalah:
1.
Tanggung jawab individu masyarakat
Al-Syaibany
yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai berikut: “diantara
ulama muktahir yang menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud
Al-Akkad yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi
manusia pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan manusia
sebagai “Makhluk yang bertanggung Jawab”. Sebagaimana dalam Alqur’an,
Allah
berfirman : Q.S. Ath.-Thur 21
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,[10]
dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya.(QS. 52.Ath-Thuur: 21)
Allah berfirman: QS. At-Tahrim, 66 :
6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ
لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (QS. 66. At-Tahrim: 6)
Sekalipun Islam menekankan tanggung
jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia
tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial dan menjadikan masyarakat
solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua
anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki,
dan memerintahkan yang ma’ruf melarang yang mungkar dimana manusia memiliki
tanggung jawab manusi melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya,
pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga
mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya.
Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku
pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari
orang lain. Terutama jika orang lain itu termasuk orang yang berada dibawah
perintah dan pengawasannya seperti istri, anak dan lain-lain.
Allah berfirman :QS. Ali Imran, 3 :
110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik (QS. 3. Ali Imran : 110)
Dengan demikian jelaslah bahwa
tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus.
Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini tidak hanya
bertanggung jawab terhadap perbuatannya orang-orang yang berada dibawah perintah,
pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Ini berlaku saat diri
pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan pemerintah.
2. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Reformasi yang dilakukan oleh pemerintah dewasa ini adalah lebih
mengedepankan peran serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka dengan berlakunya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional berubah
pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan. Pasal 54 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan
bahwa:
1) Peranserta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2) Masyarakat dapat berperanserta
sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan. Sedangkan pasal 56
menyatakan:
3) Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah.
4) Dewan Pendidikan sebagai lembaga
mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota
yang tidak mempunyai hubungan hirarkhie.
5) Komite sekolah/madrasah, sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan
memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.[11]
D. Tantangan Pendidikan Agama
Sebelum
menjelaskan tentang peranan masyarakat dalam peningkatan pendidikan agama, ada
baiknya diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan pendidikan
agama. Sehingga peranan yang dimainkan oleh masyarakat tersebut pada gilirannya
sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang saat ini tengah
dihadapi pendidikan agama. Diantara persoalan-persoalan tersebut adalah:
a. Krisis
moral-akhlak
Memperhatikan
kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggara
pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa
bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar
mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.
Pendidikan
agama adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah
menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai
contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik
karena kebetulan bapak-ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan
yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau
kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum.
Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.
Keberhasilan
pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja,
tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu
pendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (nonformal). Pengaruh
faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang serius pada
dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak yang jujur,
tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka menjumpai perilaku suap-menyuap,
korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela.
Di
sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras, tetapi dalam
tayangan televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak
yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan kebiasaan
mereka sehari-hari.
Perlu
diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya dengan
menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang
kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh
banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi menyebabkan
banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya
mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain.
Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup
mewah, maka karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki kendaraan
bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa
memiliki kendaraan bermotor.
Kiranya
perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkelahian antar
pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk
kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat,
guru agama, dan kita semua.
Tetapi
kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan
tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan
“kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata
lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan
bersikap kurangajar! Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam pembentukan
perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai
bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan
indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi
meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang
terjadi, terjadilah!
”Tokoh-tokoh
Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu
proaktif untuk ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme
tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang
suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan
kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik
dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali
lagi, hal tersebut bukan indikator kegagalan atau merosotnya kualitas
penghayatan dan pengamalan keagamaan umat Islam Indonesia.
b. Disorientasi
fungsi keluarga
Fungsi
keluarga yang dikenal sebagi tempat pendidikan utama dan pertama, nampaknya
saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi dalam setiap lini
kehiduapan. Fungsi keluarga yang semula menjadi basecamp pendidikan
pertama bagi anggota keluarga (anak, ibu dan bapak), saat ini mulai bergeser ke
luar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu
yang sering disebut sebagai “madrosatul ula” saat ini sudah banyak
yang berkerja, berprofesi di luar rumah. Sehingga pada gilirannya anggota
keluarga, terutama anak-anak sering menjadi korban, kurang terperhatikan,
terutama dalam kebutuhan psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya.
Akhirnya mereka banyak yang sering melampiaskan kegiatannya di luar rumah, dan
terjerumus ke jurang kenistaan dan kehinaan.
c. Lemahnya
learning society
Seiring
dengan era globalisasi, dimana sikap individualitas semakin menguat dan gaya
interaksi antar individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersebut telah
berakibat pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di lingkungan
keluarga. Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh
masyarakat Indonesia- meski belum secara maksimal- namun secara konsep masih
meraba-raba. Dalam batasan ini, adapun yang dimaksud dengan learning society adalah pemberdayaan peran
masyarakat dalam keluarga dalam bidang pendidikan, termasuk dalam
bidang pendidikan agama. Selama ini peran pendidikan formal, dalam arti
sekolah, yang baru mendapatkan perhatian. Sementara pendidikan non formal dan
informal di Indonesia belum mendapatkan perhatian hanya dalam porsi yang
sedikit.[12]
d. Menguatnya
faham sekuler dan liberal
Diantara
tantangan yang cukup serius yang dihadapi pendidikan agama adalah menguatnya
faham sekular dan liberal. Kedua faham tersebut tak jarang menjadikan
kebingungan di kalangan masyarakat; Sekularisme atau ( الما نية ) adalah
sebuah gerakan yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama.
Ini berarti bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar pada
sekularisme.[13] Sementara Liberalisme adalah faham
kebebasan dalam memahami syari’at, yaitu dengan melakukan perubahan metodologi
ijtihad yang menekankan aspek kontekstualitas historis, rasio, sehingga hukum
Islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian.
Padahal
agama Islam yang merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai agama yang
universal dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan), mempunyai
pandangan yang serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah dalam
setiap persoalan (manhaj al-wustho(
e. Masih
Kuatnya Manajeman Patriarki
Dalam
ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan
manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di
lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnya dari unsur
ketua yayasan, Pembina,, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, bahkan Guru dan
staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan
disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada. Yang sudah
barang tentu akan mengganggu pada profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga
tersebut. Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama, apabila manajemen yang
digunakan masih berpusat pada manajemen keluarga (patriarki), maka dapat
dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggung jawabkan.
E. Peranan Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan Islam
Berdasarkan
pada tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 tersebut di atas, maka bentuk-bentuk peranan masyarakat dalam
meningkatkan pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi
dan reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota
keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang
strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab
orang tua dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan
memberi dampak yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan
contoh suri teladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih
efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan
peribadi yang sempurna (berkeperibadian islami).[14]
Di
tengah-tengah terjadinya disfungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan
partama dan utama, adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk
mengembalikan fungsinya sebagai “madrosatul ula”. Fungsi-fungsi anggota
keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun
anak, yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan,
Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama dan keagamaan
Salah
satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama
dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi
bahwa terutama pendidikan formal yang bercorak keislaman yang dibawah naungan
Kementerian Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau sejenisnya masih cukup
memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di bawah naungan
kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan agama (unit cost)
tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah, selebihnya (62 %) masih
ditanggung anggota masyarakat (orang tua).[15]
Hal tersebut menunjukkan contoh konkret peran serta masyarakat sekaligus
kemandirian madrasah yang harus dipertahankan, sekaligus ditingkatkan.
Sementara itu mayoritas madrasah (91 %) dikelola oleh swasta dengan jumlah
keseluruhan satuan pendidikan madrasah sebanyak 40.258 buah.[16]
Peran
serta masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk
penambahan bangunan madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid
Madrasah, dan saran penunjang lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh
masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana
Baitul Hikmah melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti
perpustakaan, dll.[17]
Wakaf
pada asalnya adalah bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya
untuk kebaikan, atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal.[18]
3. Penguatan
Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah
satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah
Masjid, Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW
memiliki Masjid atau Musholla, yang secara umum mempunyai jama’ah masing-masing
(yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam kontek ini Masjid telah berfungsi
sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan
keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang agama telah
berdiri di Masjid selama berabad-abad sehingga sampai sekarang. Namun di era
teknologi informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan
kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, musholla dan langgar pada saat ini
berkurang. Jutaan mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas
shalat magrib sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan
televisi, menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.[19]
Dalam
kondisi yang seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam
mengembalikan kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning
society melalui pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll.,
menjadi sangat penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreatif.
Selain itu untuk meminimalistir distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat
dipelopori juga gerakan TV dan internet sehat, dll.
4. Berpartsipasi
aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah
satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama
adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana
diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang
pendidikan agama.
5. Mendorong
dan mendukung semua program Pendidikan Agama di madrasah/sekolah;
Peran
serta masyakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat dilakukan dengan
mendorong dan mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang terkait
peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program kurikuler,
misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca
Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, seperti di Al-Azhar, dan Islamic
Fullday School, atau beberapa sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana
Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler,
seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6. Mendirikan
dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu
Diakui
atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih dianggap
lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum
lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan para pengamat pendidikan
Islam. Maka salah satu peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan
agama yang berbasis mutu.
Untuk
menjadikan lembaga pendidikan agama dan keagamaan (seperti Madrasah) yang
bermutu, maka menurut Afifuddin[20] aspek-aspek
suatu sekolah/madrasahnya dipersyaratkan mempunyai standar mutu pula, antara
lain aspek administrasi/manajemen, Aspek Ketenagaan, Aspek Kesiswaan, Aspek
Kultur Belajar, Aspek Sarana dan Prasarana. Namun demikian, saat ini telah
bermunculan beberapa sekolah/madrasah bercorak keagamaan/Ke-Islaman yang telah
dianggap berbasis mutu, seperti MIN 1 Malang Jawa Timur, SMU Insan
Cendikia Serpong-Tangerang, SMU Madania, Parung-Bogor, Madrasah Pembangunan UIN
jakarta, AL-Azhar Pondok Labu-Jakarta,dll.[21]
7. Penguatan
Manajemen Pendidikan Agama
Salah
satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas dikelola
swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya
bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan,
Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah mayoritas
terdiri dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur
kebersamaan, dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang
banyak terjadi adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah
adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah
tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara
baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam
sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas
dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam
konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen
lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya
tetap memperhatikan profesionalitas.
F. Epilog
Secara
garis besar peningkatan “peranserta” masyarakat dalam pemberdayaan dan
peningkatan pendidikan keagamaan dapat dikerangkakan sebagai berikut;
1. peningkatan peranserta masyarakat
dalam pemberdayaan managemen pendidikan.yakni peningkatan pengembangan
managemen yang lebih accountable, baik dari segi keuangan
maupun organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui peningkatan ini,
sumber-sumber finansial masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara lebih
efisien untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam; begitu
juga dari segi organisasi, sehingga menjadi lebih viable dan durable dalam
perubahan dan tantangan zaman.
2. Peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas dan berkeunggulan, yang pada
gilirannya akan mendorong perkembangan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan
Islam lainnya menjadi “centers of exellence “ yang mengahsilkan
pendidik yang berparadigma keilmuan “komprehensif”, yakni pengetahuan umum dan
agama, plus imtaq.
3. Peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang dapat dalam masyarakat,
sehingga system pendidikan Islam tidak terpisah, atau menjadi bagian integral
dari masyarakat muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan ini, madrasah atau
perguruan lainnya dapat menjadi “core’’ dari “learning society”,
masyarakat belajar, yang gilirannya membuat anak didik keluaran lembaga
pendidikan Islam lebih berkualitas, capable, fungsional dan integrated dengan
masyarakat.
4. Penghayatan dan pengamalan keagamaan
umat Islam dalam masa dua atau tiga dekade terakhir ini jauh lebih maju,
semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama.
Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah
memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan
ketaqwaan generasi muda dan umat Islam Indonesia.
G. Implikasi
Kesadaran
masyarakat untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada
anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari
semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama”. Melalui media masa, munculnya
pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren kilat, taman
pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.Gerakan masyarakat dalam kegiatan
pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan
segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan
keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin (2010), Bahan
Perkuliahan Manajemen Madrasah, Pascasarjana UIN Bandung
Al-Syaibani, Omar Mohammad Al-Toumy
(1979), Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta
Azra, Azumardi (1999), Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu,
cet.1, Jakarta
Darajat, Zakiah (2009 ), Ilmu
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Everett, M. Rogers (1995), Diffusion
of Inovation, The Free Press, New York
Hidayati, Umul (2007), Permaslahan
Madrasah pada Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal EDUKASI
Nanang Fattah (2007), Indikator
Kemandirian Pembiayaan Madrasah, dalam Jurnal EDUKASI, Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang dan Diklat Kemenag RI, Jakarta
Nizar, Samsul (2002), Filsafat
pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan Praktis, Cet.1 Ciputat Pers,
Jakarta
Ravik Karsidi (2005), Sosiologi
Pendidikan, UNS Press, Surakarta
Tirtarahardja, Umar dan S.L.La Sulo
(2005), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal
8 tentang hak masyarakat.
www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas (diunduh, 31 Maret 2011)
WAMI Lembaga Penelitian dan
Penelitian (1995), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, , terjemahan
bahasa Indonesia , Penerbit Al-Ishlahi Press, Jakarta
Zuhairini,dkk. (1992), Sejarah
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Cet.3, Jakarta
[10] .
[11]
[12]
[13] [14] a) Peran serta Masyarakat (PSM)dalam pendidikan secara
umum, sebagaimana dimaksud dalam UU Sisdiknas tersebut, adalah:
a) Peran serta dengan menggunakan
jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya
memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah/madrasah;
b) Peran serta dengan memberikan
kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan
dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau
tenaga;
c) Peran serta secara pasif. Artinya
menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah),
misalnya komite Sekolah/Madrasah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi
anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan
mematuhinya;
d) Peran serta melalui adanya
konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah
pembelajaran yang dialami anaknya;
e) Peran serta dalam pelayanan.
Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah/madrasah, misalnya orangtua
ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan
keagamaan, dan lain sebagainya;
f) Peran serta sebagai pelaksana
kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah/madrasah meminta
orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan,
masalah gender, gizi dan lain sebagainya;
g) Peran serta dalam pengambilan
keputusan. orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan
(baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan
dalam rencana pengembangan sekolah.
[15]
[16] [17]
[18] [19]
[20]
[21]
[22] Loading...
[1] Azumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
M. (Jakarta logos Wacana ilmu, 1999), cet.1, hlm. 75
[2] Ravik
Karsidi, Sosiologi Pendidikan, ( Surakarta : UNS Press,
2005), hlm. 220
[3] Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1979) , cet.1, Hal163
[4] Umar
Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,2005 ), hlm.179
[5] Zakiah
Darajat, Ilmu Pendidikan
Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ), hlm. 44
[6] UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 8 tentang hak masyarakat.
[7] John
M, Echols, Hassan Shadil, Kamus
Indonesia-inggris Jakarta: Gramedia 1995 hlm 372
[8] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam
Mulia, 2008), hlm 362.
[9] Opcit,,, Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam
hlm 260
[10] Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan
Allah derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan
bapak-bapak mereka dalam surga
[11] www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas (diunduh, 5 Juni 2014)
[12] Berkaitan
dengan masalah ini Torsten Husen (1971) menekankan adanya suatu kenyataan bahwa
sekolah itu adalah dan haruslah merupakan bagian integral dari masyarakat
disekitarnya, dan sama sekali tidak boleh bergerak didalam kehampaan kehidupan
sosial.
[13] (Gerakan
Keagamaan dan Pemikiran, Lembaga Penelitian dan Penelitian WAMI, terjemahan
bahasa Indonesia , Penerbit Al-Ishlahi Press, 1995 hal. 281)
[14] Tanggung
jawab orang tua dalam mendidik anak juga tercermin dalam Alqur’an Surat
At-Tahrim ayat: 6 : “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksaan api neraka..”
[15] Nanang
Fattah, Indikator Kemandirian Pembiayaan Madrasah, dalam Jurnal
EDUKASI, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang dan Diklat
Kemenag RI, 2007, hlm. 35.
[16] Umul
Hidayati, Permaslahan Madrasah pada Era Otonomi Daerah, dalam
Jurnal EDUKASI….. hlm. 120
[17] Zuhairini,dkk., Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta Bumi Aksara, 1992.) Cet.3, hlm .98
[18] Hasan
Langgulung, asas-asas pendidikan Islam, (Jakarta Pustaka Al-Husna,
1992.) Cet.2, hlm.160
[19] Samsul
Nizar,Filsafat pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan Praktis,
Jakarta, Ciputat Pers 2002, Cet.1, hal176
[20] Afifuddin,
Bahan Perkuliahan Manajemen Madrasah, Pascasarjana UIN
Bandung, Tahun 2010 hlm 77
[21] A
Waca zumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, M. (Jakarta logos
na ilmu, 1999), cet.1, hlm. 73-79
Komentar
Posting Komentar