KRITIK PREVIEW
TELAAH SISTEM KENEGARAAN ISLAM
Oleh: Sahrul Takim
A. Adakah Sistem Islami.?
Islam adalah agama yang sempurna sebagai mana
termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Maydah ayat 3.
4tPöquø9$#àMù=yJø.r&öNä3s9öNä3oYÏàMôJoÿøCr&uröNä3øn=tæÓÉLyJ÷èÏRàMÅÊuurãNä3s9zN»n=óM}$#$YYÏ4ÇÌÈ
Artinya:
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S:
Al-Maiidah: 3).
Pemaknaan tersebut telah memberikan gambaran
akan kehendak Allah SWT menjadikan islam sebagai agama yang sempurna untuk
mengatur peradaban umat manusia dengan kecukupan potensi agar di tafsirkan
secara baik sesuai dimensi kebutuhan kehidupan di muka bumi. Penegasan akan
system islami oleh KH. Abdul Rahman Wahid menjadikan tafsiran Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 128 sebagai pintu masuk untuk menerjemahkan system keislaman
sebagaimana bunyi ayat berikut.
$ygr'¯»túïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qè=äz÷$#ÎûÉOù=Åb¡9$#Zp©ù!$2wur(#qãèÎ6®Ks?ÅVºuqäÜäzÇ`»sÜø¤±9$#4¼çm¯RÎ)öNà6s9Arßtã×ûüÎ7BÇËÉÑÈ
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (Kedamaian) secara
keseluruhan (Kaffah), dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. (QS al-Baqarah:208).
Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat
fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan
menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal,
dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang
menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah
entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu,
termasuk sistem Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi,
tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan
dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan
perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah.
Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat
mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti
mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam
kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati
eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk
mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus menghormati hak
mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara
otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang
kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah
bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada
di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara
kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum
muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin
seperti ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan dinilai
kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga
partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering
dikenal dengan nama “kaum santri”.
Apabila terdapat pendapat tentang perlunya
sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris
yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Qur’ân? Sebuah
ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”,
sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima
prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh,
menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum
miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika
menghadapi cobaan dan kesusahan.
Kesetiaan kepada profesi itu, oleh Kh. Abdul
Rahman Wahid digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang
memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû).
ßìÏt/ÅVºuq»yJ¡¡9$#ÇÚöF{$#ur(#sÎ)ur#Ó|Ós%#XöDr&$yJ¯RÎ*sùãAqà)t¼ã&s!`ä.ãbqä3usùÇÊÊÐÈ
Artinya: Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila
Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia. (QS
al-Baqarah [2]: 177).
Adakah janji yang lebih nilainya daripada
janji kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji
prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh
seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya
tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan
demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang
untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat
penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan
arti sistem.
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan
deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa
partai tersebut adalah partai Islam, Abdul Rahman Wahid dihujani kritik tajam
selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan
sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU
sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara
atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush
al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin,
muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin
mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang non-muslim (para kolonialis
Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di
kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada
kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat
sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin
di kawasan tersebut.
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut,
memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta
untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan-badan formal Islam
bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi
nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan
bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang
pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya)
yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara
yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang
tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai
dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal
Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan
tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala
Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah). Bukankah ini sudah
menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam
ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifk adanya sebuah sistem Islami.
Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal
ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu Abdul Rahman Wahid berpendapat,
dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti
tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk
diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan
Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan
negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena
paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada
semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.[1]
B. Aspek Teoritis Dari Pemikiran Politik Dan
Negara Islam.
hubungan Islam dan Negara lebih layak
dimasukkan ke dalam filsafat politik Islam, karena pemikiran Gus Dur ini lebih
terkait dengan upaya menghubungkan antara manusia dengan politik dan mencoba
mengembalikan politik sebagai kebutuhan manusia.Sebagai pembuka kajian
teks-teks Gus Dur, Arif mengutip salah satu tulisan Gus Dur tentang problem
diskursus negara Islam, teks tersebut berbunyi:
Pemikiran negara dalam karya para
penulis muslim, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan
demikian, pemikiran negara yang berkembang lalu begitu diletakkan pada aspek
legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti status perangkat
kenegaraan (imam, dst).. negara lalu hanya didekati dari sudut teori kekuasaan
belaka, justru bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan
kekuasaan rakyat.. Dengan kata lain, pemikiran negara lalu menjadi terlepas
dari pemikiran politik, karena pada hakikatnya pemikiran politik selalu
berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang
diperintah.[2]
Gus Dur hendak mengeritik
pandangan-pandangan penulis muslim terkait pemikiran politiknya. Di antara
tokoh muslim yang dikritik Gus Dur dalam tulisan ini adalah al-Mawardi dalam
Ahkam al-Shultaniyyahnya dan Ali Abdurraziq dengan gagasan sekulerismenya dalam
karyanya al-Islam wa Ushul al-Hukm.
Kemudian
untuk mempertegas kritik Gus Dur terhadap konsep Negara Islam dalam konteks
Indonesia, teks-teks Gus Dur lainnya yang di antaranya adalah tulisan Gus Dur
yang berjudul “Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam?” karya Gus Dur yang
disampaikan dalam diskusi yang diadakan di Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, pada tanggal 7 Februari 1988. Dalam kutipan makalah
tersebut Gusdur mengatakan Keseimbangan hak partisipasi individu dan
pemerintahan yang kuat jika:
1. Baik hak individu warga masyarakat maupun
pentingnya kekuasaan efektif di tangan pemerintah, sama-sama memiliki dasar
tekstual. Ayat al-Qur’an menentukan kewajiban melakukan proses syura
(permusyawaratan), yang diandaikan menjadi wahana penyaluran aspirasi individu. Bahkan demikian jauh hak-hak individu itu
dijaga, sehingga tampak agak anarkis. Sabda Rasulullah, “Tiada ketundukan
kepada makhluq, termasuk yang paling berkuasa sekalipun, dalam hal yang
menentang ketentuan Allah.
2. Kekuasaan pemerintah juga ditegakkan,
seperti dalam ayat, “Tunduklah kalian kepada Allah, utusan-Nya dan pemegang
kekuasaan (pemerintah) di antara kalian”. Namun ketundukan kepada kekuasaan
pemerintah itu dirumuskan dengan jelas: tindakan yang adil, pengutamaan
kemashlahatan umum dan pemenuhan batas minimal kebutuhan hidup. Terlebih jauh
lagi, landasan keadilan itu justru diletakkan dalam konteks moral, menjadi
sikap hidup yang diberlakukan sebagai tolok ukur kelayakan seseorang untuk
memegang jabatan pemerintahan.
3. Pengutamaan kemashlahatan umum dituntut dalam
bentuknya yang operasional, bukan sekadar dalam prinsip global. Salah satu
kaidah fiqh adalah ‘kebijaksanaan pemimpin (pemerintahan) harus didasarkan pada
kepentingan orang banyak. Salah satu kerangka operasionalnya adalah perintah
menyelenggarakan jihad, yang tentunya beban terberatnya terletak di pundak para
pemegang kekuasaan. Dalam I’anah al-Thalibin ditentukan bahwa salah
satu bentuk jihad adalah menjaga mereka yang dilindungi oleh Islam dari
kerusakan (daf’u darari ma’sumin), yang dirumuskan penyediaan makanan
manakala dibutuhkan, penyediaan pakaian, papan, obat-obatan dan biaya
perawatan. Sedangkan mereka yang harus dilindungi adalah baik kaum muslimin
maupun non-muslim yang hidup damai dalam masyarakat yang sama.
Dalam
karya yang lain Gus Dur misalnya pikirannya tentang “Islam, Ideologi, dan Etos
Nasional”. Dalam makalah tersebut Gus Dur memberikan sebuah tawaran tentang
hubungan antara Agama dan Negara. Kutipan dari makalah tersebut bisa disimak
pada teks berikut:
1. Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai
landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan
Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslim. Ideologi konstitusional tidak
dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan
sebagai agama. Dengan demikian, tidak akan diberlakukan UU maupun peraturan
yang bertentangan dengan ajaran agama.
2. Pancasila masih harus diuji, apakah mampu
atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut
Islam. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita,
Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh
Islam kepada warga; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama,
kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.
Secara keseluruhan, Islam lalu
berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertamanya adalah
sebagai akhlaq masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk
kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat dituangkan melalui proses
konsensus (Undang-undang 1.1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama 7/1989,
sebagai contoh).[3]
Maksud dari pernyataan Gus Dur yang
menyatakan bahwa Pancasila masih harus diuji, apakah ini menunjukkan bahwa Gus
Dur belum sepenuhnya menerima Pancasila sebagai dasar Negara?Sebagai ideologi
Negara, Pancasila sudah final. Meskipun demikian, pancasila tetap harus diuji
atau dikawal untuk merealisasikan kandungan nilai-nilainya. Lantas Apakah tidak
ada benturan antara pancasila dengan Islam? Jawabannya adalah pertarungan
antargerakan Islam dengan pancasila memang ada dan sudah diselesaikan secara
“silent bargaining” (kedamaian yang mencemaskan) oleh rezim orde baru. Bermula
dari piagam Jakarta yg berkaitan dengan sila kesatu yang dibatinkan oleh Sukarno
dalam sila kesatu pancasila yang kemudian berlanjut hingga orba menguasai dan
di selesaikan dengan cara silent bargaining.”
Di
antara sederet pertanyaan juga datang dari Khoirul Huda, Kediri, Mahasiswa UIN
C. Islam: Mempunyai Konsep Kenegaraan?
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal
bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah.
Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan
fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan
munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan
politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah
teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan
terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini. Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan
politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya
persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada
saat itu. Kedua, hubungan intelektual
dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara
intens.
Namun
tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode
dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti
kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik
di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqifah Bani Sa'adah
muncul tiga ide politik, yaitu:
1.
Kembali ke Sistem Kabilah
Setiap kabilah mengangkat
pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum
separatis (riddah).
2.
Sistem Hak Warisan
Ide ini lahir dari kalangan
Bani Hasyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang
Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbas, 'Ali, dan
Zubair.
3.
Ide Persatuan Melalui
Permusyawaratan.
Ide ini didukung kaum
muhajirin, kecuali Bani Hasyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'an
agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas
persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.[4]
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal
sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok
dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana
sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah,
mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal
sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat
mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang
ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan Abbasiyah dunia ilmu
pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama
dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan
dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari
berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam
dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada
gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah
sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihab al-Din Ahmad Ibn
Abi Rabi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang
hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang
hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili
pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua
ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak
jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun
kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua, selain al-Farabi, mereka
mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada
pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya
Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah
yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem
baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat
pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak
selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga
hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul
setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia
Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan
pembaharuan dan pemurnian. Kedua,
rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam
yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar
wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik
antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat
permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga,
keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.[5]
Para pemikir politik Islam pada periode
pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar,
yaitu:
1.
Kelompok
Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya
aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah
agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh
umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan
al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Abul A'la al-Maududî.
2.
Kelompok Modernis.
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka
menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh
kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
3.
Kelompok Liberal.
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan
radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan
mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh
kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thaha Husein.
Para pemikir politik Islam abad pertengahan
banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya
negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Seperti dikatakan al-Ghazali, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang
disebabkan oleh dua hal. Pertama,
kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin
melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga. Kedua, saling membantu dalam penyediaan
bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan
segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas
di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan
sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya.
Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama
saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada
dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah
organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan
suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna,
sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk
memakmurkan bumi.
Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin,
secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan
negara. Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep
bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat
dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut
paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana
pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah
lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi
keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi.
Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya
dimiliki para keturunan Nabi SAW.[6]
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni,
kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala
negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada
Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi
yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga
politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi
menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara
bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududi
(w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik
(negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh
tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun
dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena
konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat
untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara
berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan
saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara
agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Al-Mâwardî (w.
1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun
berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi
kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut
sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazali (w. 1111
M). Konsep far'i izadi yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya
mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung
arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala
negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini
bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan. Peradigma ketiga bersifat
sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun
simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik
menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi
Islam akan bentuk tertentu pada negara.[7]
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan
risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam
(al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan,
termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem
politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim
pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem
pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah
memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi
intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan
tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi
pernah mendirikan suatu negara di Madinah.[8]
Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin
politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan,
masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang
bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan
konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak
menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting
kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan
salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik
diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan
situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk
membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan
jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan
fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang
telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah
kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat
bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus
dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana
dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu
sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian
agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang
selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut
kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh,
menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem
khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk
demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan
kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan
yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah
"daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'an.
Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan
otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada
pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah
negara.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para
pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
1. Skripturalistik dan
rasionalistik.
Kecenderungan
skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu
penafsiran terhadap al-Qur'an dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa.
Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan
kontekstual.
2.
Idealistik
dan realistic.
Pendekatan pertama
cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan
nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan
yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi
mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
3. Formalistik dan
substantivistik.
Pendekatan formalistik cenderung
mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep
negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik
cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan
bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian
pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama[9]
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan
negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'an juga
sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad
umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk
menjadikan al-Qur'an sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan
dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah
sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran
Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam
mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara
Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan
berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum
muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut
prinsip-prinsip bernegara secara Islami.[10]
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'an
mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial
politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan,
persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara
berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara
Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan
prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara
demokrasi di antaranya adalah: “Keadilan” (QS. Al-Maiidah:8) Berlaku adillah
kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. “Musyawarah” (QS. Asy Syuura
:38) Sedang urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah di antara mereka. Menegakkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran (QS. Ali-Imran:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan
berimanlah kepada Allah. Perdamaian dan persaudaraan (QS. Al-Hujaraat :10)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat. Keamanan (QS. Al-Baqarah:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya
Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. Persamaan (QS. An-Nahl
:97) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik.[11]
Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip
di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau
bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam
al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun (QS. Saba’:15)[12].
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara
sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya
adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau
negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak
akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat
dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan
alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan
untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang
menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara
Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut
dikesampingkan.[13]
Jadi dapat di simpulkan bahwa Al-Qur'ân
maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan
untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki
seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan
negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik
(negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh
yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan
interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun
juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai
yang ada dalam al-Qur'an maka pembentukan "negara Islam" dalam
pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting
adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'an seperti, musyawarah (syura),
keadilan ('adalah), persamaan (musawah), hak-hak asasi manusia (huquq
al-adami), perdamaian (shalah), keamanan (aman) dan lain-lain bisa
direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun
toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi
sebuah realita yang bisa dirasakan.
terlalu
gegabah jika Islam (al-Qur'an) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan
ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan
lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang
terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian,
penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat
dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan
masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda
dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan
dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri
demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk
menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang
dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia
meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa
Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan
pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan
agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik
merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.[14]
Selain potensi radikalisme dan terorisme,
Indonesia juga harus menghadapi bahaya dari upaya beberapa kalangan tertentu
yang bersikeras mengubah ideologi Pancasila menjadi Ideologi negara yang
berasaskan Negara Islam. Namun demikian, Indonesia tidak mungkin akan memiliki
peluang untuk berubah dari asas ideologi Pancasila menjadi ideologi berasaskan
Negara Islam. Pasalnya, ideologi tersebut sama sekali tidak punya akarnya sama
sekali di Indonesia, baik secara sosial-budaya maupun politik.
Karena itu, sejak awal perumusan ideologi
bangsa Indonesia sebagai sebuah negara di masa awal-awal kemerdekaan, keinginan
untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam senantiasa mengalami kegagalan.
Gerakan politik yang mendorong ke arah pembentukan Negara Islam selalu punah di
tengah jalan sebelum mencapai final.keyakinan bahwa keinginan mengubah ideologi
Pancasila ke arah pendirian Negara Islam yang digelontorkan dengan gencar
selama ini oleh beberapa kalangan tertentu tak perlu dikhawatirkan.
D. Mencari Format Hubungan Agama Dengan Negara.
Untuk memahami secara detail mengenai Negara,
maka terlebih dahulu akan diawali dengan penelusuran kata Negara tersebut.
Secara literal, istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni state
(bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat
(bahasa Prancis). Kata state, staat, etat diambil dari kata bahasa latin
status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap
atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.[15]
Secara terminologi, Negara diartikan dengan
organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah Negara yang
meniscayakan adanya unsur dalam sebuah Negara, yakni adanya sebuah masyarakat
(rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada
al-Quran dan al-Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang Negara secara
eksplisit, hanya di dalam al-Quran dan al-Sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang
Negara juga berasal dari 3 (tiga) paradigma, yaitu:
1. Paradigma
tentang teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah saw., terutama
biasanya merujuk pada masa Khulafa al-Rasyidun.
2.
Paradigma yang bersumber pada teori Imamah
dalam paham Islam Syi’ah.
3. Paradigma
yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.
Dari beberapa poin di atas dapat dipahami
secara sederhana bahwa yang dimaksud Negara adalah suatu daerah teritorial yang
rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari
warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan
(control) monopolistis dari kekuasaan yang sah. Sebagai sebuah organisasi
kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, Negara harus memiliki
tujuan yang disepakati bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara
lain;
1.
Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata
2.
Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
3.
Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan adanya
Negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu)
dan sebagai makhluk sosial. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan Negara
adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya
sebebas mungkin.
Dalam ajaran dan konsep teokratis yang
diwakili oleh Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk mencapai
penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah
pimpinan Tuhan.
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh
Ibnu Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan
baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi asing. Paradigma ini didasarkan
pada konsep sosio-historis bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara
individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Sementara menurut
Ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan
dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.[16]
Sementara itu, dalam taraf mencari fotmat
Hubungan Agama dengan Negara di jabarkan sebagai berikut:
1. Relasi
Negara dan Agama
Negara
dan Agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discource)
yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan pandangan dalam menerjemahkan Agama sebagai bagian dari Negara atau
Negara merupakan bagian dari dogma Agama. Pada hakekatnya, Negara sendiri
diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat
kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu,
sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula sehingga
Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan
manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian,
Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah
pendiri Negara itu sendiri.[17]
Dalam
memahami hubungan Negara dan Agama ini, akan dijelaskan beberapa konsep
hubungan Agama dan Negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi,
paham sekuler dan paham komunis.
a.
Hubungan Negara dan Agama Menurut Paham
Teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama
digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan
Agama, karena pemarintahan (menurut paham ini) dijalankan berdasarkan
firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan Negara
dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik,
dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam
dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung.
Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan
secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan,
dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut sistem
pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara yang memiliki otoritas
atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak
Tuhan.[18]
Kerajaan Belanda dapat dijadikan contoh untuk model ini.
Dalam sejarah, raja di Negara Belanda diyakini sebagai pengemban tugas suci
yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci (mission sacre) dari Tuhan untuk
memakmurkan rakyatnya. Politik seperti inilah yang diterapkan oleh pemerintah
Belanda ketika menjajah Indonesia. Mereka meyakini bahwa raja mendapat amanah
suci dari Tuhan untuk bertindak sebagai wali dari wilayah jajahannya itu. Dalam
sejarah, politik Belanda seperti ini disebut politik etis (etische politiec).
Dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung, sistem dan
norma-norma dalam Negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan
demikian, Negara menyatu dengan Agama. Negara dan Agama tidak dapat dipisahkan.
b.
Hubungan Negara dan Agama Menurut Paham
Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara Negara dan
agama. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan
agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia
lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif
dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama.
Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya
Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang
mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan Agama.
c.
Hubungan Negara dan Agama Menurut Paham
Komunisme.
Paham komunisme memandang hakikat hubungan Negara dan
agama berdasarkan pada filosofi materialisme-dialektis dan
materialisme-historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang
dipelopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat.
Menurutnya manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara Agama, dalam
paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan
dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai
realisasi fantastis makhluk manusia, dan Agama merupakan keluhan makhluk
tertindas. Oleh karena itu, Agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang
tertinggi dalam Negara adalah meteri, karena manusia sendiri pada hakekatnya
adalah materi.
2.
Konsep Relasi Negara dan Agama dalam Islam.
Dalam
Islam, hubungan Negara dan agama menjadi
perdebatan yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan
menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah lama berlangsung sejak hampir satu
abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan bahwa
ketegangan perdebatan tentang hubungan Negara dan agama diilhami oleh hubungan
yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah).
Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan
kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal
sangat beragam.[19]
Dalam
lintasan historis Islam, hubungan Negara dengan Agama dan sistem politik
menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional yang
beragumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki
hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup
bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya
dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah).
Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi nabi Muhammad ketika berada di
Madinah yang membangun sistem pemerintahan dalam sebuah Negara Kota (city
state). Di Madinah Rasulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus
sebagai kepala Agama.
Menyikapi
relitas empirik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu
adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran bukan sebagai penguasa.
Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan Agama
dan kekuasaan, bukanlah Agama. Dengan kata lain, politik atau Negara hanyalah
sebagai alat bagi Agama bukan suatu eksistensi dari Agama. Pendapat Ibnu
Taimiyah itu dipertegas dengan ayat al-Quran yang artinya: “Sesungguhnya Kami
telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami
turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan
Kami turunkan besi padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi
manusia dan Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya
yang ghoib (daripadanya). (QS. 57:25).
Dari
ayat tersebut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Agama yang benar, wajib memiliki
buku petunjuk dan pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik
yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi
kekuasaan itu bukanlah Agama itu sendiri.
Syafi’i
Ma’arif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti Negara tidak dijumpai
dalam al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam al-Qur’an, (QS 59:7) tetapi
bukan bermakna Negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk
melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.[20]
Sama
halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Husein Haikal. Menurutnya
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an
dan al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan
yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimanapun
asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warganegaranya, baik hak
maupun kewajiban dan juga di muka hukum serta pengelolaan urusan Negara
diselenggarakan secara syura atau musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai
moral dan etika yang diajarkan Islam.
Abdurrahman
Wahid, juga memberikan porsi pemikiran yang cukup signifikan tentang pergulatan
Negara dan Agama, serta berusaha memberikan alternatif-alternatif dalam dua pertentangan
tersebut. Menurutnya, pemikiran Negara dalam pandangan Islam pada dasarnya
dapat dibagi ke dalam dua jenis pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan
pemikiran realistik. Pemikiran idealistik berusaha secara sadar merumuskan
sebuah kerangka Negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam
pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan
secara penuh dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen Islami.
Sedangkan pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari
sebuah Negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan
masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam Islam tentang
Negara.
Dalam
lintasan sejarah dan opini para teoritis politik Islam, ditemukan beberapa
pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan Negara dan Agama, antara lain
dapat dirangkum ke dalam 3 (tiga) paradigma, yakni integralistik, simbiotik,
dan sekularistik.
a.
Paradigma Integralistik.
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep
hubungan Negara dan Agama yang menganggap bahwa Negara dan agama merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan
suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga Agama. Konsep ini menegaskan
kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau
Negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang
Agama-Negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan
hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian peradigma integralistik
dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah
hukum Agama. Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh kelompok Islam
Syi’ah. Hanya saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term
Imamah.
b.
Paradigma Simbiotik.
Menurut konsep ini, hubungan Negara dan Agama dipahami
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, Negara
memerlukan Agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral,
etika, dan spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan Negara
sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan Agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan
kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama
tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu
Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua
entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi
yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social
contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama (syari’at).
c.
Paradigma Sekularistik.
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan
(disparitas) antara Negara dan Agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum
positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan
manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama
(syari’ah).[21]
Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari
pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian
Rasulullah pun tidak ditemukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama.
Rasulullah hanya penyampai risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama
kepada manusia.
3.
Negara dan Agama: Pencarian Alternatif Format
Hubungan
Abdurrahman
Wahid, sebagai tokoh yang secara gigih memberikan alternatif-alternatif dalam
dua pertentangan relasi Negara dan Agama, ia berpendapat bahwa, pemikiran
Negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis
pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan pemikiran realistik. Pemikiran
idealistik berusaha secara sadar merumuskan sebuah kerangka Negara yang
sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini, Islam merupakan
sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh dalam sebuah
bangunan masyarakat yang seratus persen islami.[22]
Sedangkan
pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah
Negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan
masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam Islam tentang
Negara.
Model
pemikiran yang pertama lebih menggunakan pendekatan integralistik, yang
berpandangan bahwa Islam diturunkan dalam kelengkapan yang sudah utuh dan
bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah dianggap memiliki konsep-konsep
lengkap untuk tiap bidang kehidupan. Masalahnya justru terletak pada bagaimana
menggali konsep-konsep tersebut dari sumber otentik agama. Dari perspektif
inilah terdapat kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam dan
Negara, karena sifat Islam yang seolah-olah suprarasional. Sebagaimana semua
agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya.
Asumsi
ini kemudian melahirkan semacam kewajiban bagi pemeluk Islam untuk mendirikan
Negara Islam. Ironisnya, Negara Islam diteorisasikan sebagai Negara Tuhan atau
kerajaan Tuhan di muka bumi yang komponen-komponennya adalah umat Islam, hukum
Islam (syari’at) dan khalifah sebagai bayangan Tuhan di muka bumi, sebagaimana
yang pernah dirumuskan oleh Sayyid Quthb, al-Maududi dan Hassan al-Banna. Model
Negara yang demikian pada akhirnya membuat hampir tidak ada tempat bagi rakyat
untuk menentukan preferensi politik secara bebas atau menegakkan kedaulatan
mereka.
Sedangkan
model kedua lebih cenderung menggunakan pendekatan empiris. Dalam pendekatan
ini, kenyataan-kenyataan yang tengah berlangsung dalam masyarakat menjadi bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pendekatan ini lebih sepakat untuk
membentuk atau mendirikan Republik Bumi agar bisa dilestarikan hingga hari
kiamat, daripada membangun Kerajaan Surga di bumi.
Kategori
pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks relasi antara Negara dan Agama lebih
cenderung pada pendekatan kedua. Abdurrahman Wahid tidak setuju tentang
pendirian sebuah Negara yang didasarkan pada agama sebagai hukum formalnya.
Secara eksplisit ia mengatakan bahwa dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al
Hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk Negara. Yang penting bagi Islam
adalah etika kemasyarakatan dan komunitas. Hal ini penting karena Islam tidak
mengenal konsep pemerintahan secara definitif. Ketidakjelasan masalah suksesi
kepemimpinan sebagai sesuatu yang penting dalam pemerintahan tidak secara jelas
disebut dalam Islam. Hal itu, bagi Abdurrahman Wahid, merupakan bukti bahwa
Islam tidak berkaitan dengan Negara.
Suatu
pemahaman bahwa teoritisasi politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari
pola idealisasi bentuk kenegaraan yang Islami, melainkan justru menekankan
penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Ibnu Abi Ruba’i, al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnu Khaldun, jelas-jelas menempuh perbaikan secara gradual
terhadap konsep Negara yang sudah ada tersebut. Hanya al-Farabi yang mencoba
menyusun sebuah Utopia berjudul “Negara Utama” (al-Madinah al-Fadlilah).[23]
Bagi
dia, tentulah sangat sukar memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam konstruk
ideologis yang bersifat nasional. Kalau dipaksakan juga, berarti wawasan
kehidupan yang dibawakan Islam harus ditundukkan kepada wawasan nasional dari
sebuah ideologi. Mengatasi masalah ini ia menawarkan sebuah solusi dengan
mengambil sudut pandang fungsional antara keduanya. Baginya, Islam haruslah
ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan
masyarakat, apapun bentuk masyarakat yang digunakan.
Gagasan
Abdurrahman Wahid ini didasarkan pada prinsip tujuan dan cara pencapaiannya
(al-Ghayah wa al-Wasail) untuk melihat pentingnya aspek fungsionalisasi ajaran
agama. Dalam konteks inilah kemudian Abdurrahman Wahid berupaya untuk
memberikan solusi atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda-beda tersebut.
Yaitu, menjadikan Islam sebagain etika sosial dalam kehidupan bernegara dan
pribumisasi Islam. Pemikiran ini kemudian lebih cenderung pada kedekatan pada
paradigma simbiotik dimana Negara dan agama saling menunjang. Yaitu menempatkan
Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural. Keyakinan
ini, didasarkan atas pehamanan mengenai relasi Negara dan agama dalam pemikiran
Ibnu Khaldun, yang menganggap pembentukan sebuah Negara disamping paham
keagamaan, juga diperlukan rasa ashabiyah (perasaan keterikatan atau perasaan
kelompok).
Dengan demikian discourse Sistem Islamisasi,
Relasi dan format Negara dalam agama islam memang ada dalam dialektika Islam.
Hal inilah yang kemudian tidak bisa dijustifikasi kebenarannya yang mana yang
benar atau yang mana yang salah. Hanya saja sebagai solusi alternatif,
bagaimana kemudian masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam
bernegara dengan mendasarkan pada nilai-nilai islam (ilahiah), dimana hal
inilah yang dijelaskan dalam kehidupan Agama, khususnya Islam tanpa harus
meligitimasi secara yuridis formal dalam konteks kenegaraan. Dengan menempatkan
nilai-nilai islam dalam kehidupan social kenegaraan maka akan menjadi standar
rujukan untuk mencapai kehidupan kenegaraan yang ideal sebab substansi
kenegaraan adalah bagian dari sumstansi keagamaan, namun memaksakan menempatkan
nilai ilahiah (islam) dalam melegitimasi suatu negara justru telah mereduksi
ruh dari pada islam.
Sekian.
Penulis
Sahrul Takim.
[1] Abdul Rahman Wahid,
Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam, Majalah
Aula, Desember 1986, h. 5-8 dalam, http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/. Di akses pada Tanggal 22 Desember
2013.
[2] Pemikiran Gusdur dalam http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.com/2012/06/relasi-negara-agama-dan-masyarakat.html Di akses pada Tanggal 22
Desember 2013.
[3] Ibid, h. 3
[4]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Cet.II; Jakarta:
Paramadina, 1992), h.56
[5]Khalid Ibrahim Jindan, Teori
Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter.
Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) dalam https://www.facebook.com/note.php?note_id=481788801271 di akses pada tanggal 22
Desember 2013.
[6] Harun Nasution, Teologi
Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Cet.IV; Jakarta: UI
Press, 1986), h. 57-58.
[7] Ibid, h. 61-62
[8] Khalid Ibrahim Jindan, Teori
Politik Islam.. Op.Cit.
[9] Fazlur Rahman, Islam (New
Tork: The Chicago University Press, 1966)dalam https://www.facebook.com/note.php?note_id=481788801271 di akses pada tanggal 22
Desember 2013.
[11] Ibid, h. 74
[12]Al-Qur'an al-Karim,
terjemahan. Departemen Agama, RI, 2000
[13] Khalid Ibrahim Jindan, Teori
Politik Islam.. Op.Cit
[14]H. Alamsiah Ratu Perwiranegara,
Islam Dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Cet.I; Jakarta: PT Intermasa,
1987), h. 25
[15]Bahtiar Effendy,” Islam dan
Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Cet.II;
Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998)., h. 13
[17]Nurcholish Madjid, “Islam Agama
Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, (Cet.II; Jakarta:
Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 18
[18] Ibid, h. 20
[19]Bahtiar Effendy,” Islam dan
Negara; Transformasi.. Op.Cit.23
[20]Al-Qur'an al-Karim,
terjemahan. Departemen Agama, RI, 2000
[21]Bahtiar Effendy,” Islam dan
Negara; Transformasi.. Op.Cit.24
[22]H. Alamsiah Ratu Perwiranegara,
Islam Dan.. Op.Cit. 67
Komentar
Posting Komentar