Langsung ke konten utama

PERSEPSI YANG TERNODAI;Potret Praktek Pernikahan di Kepulauan Sula Antara Anjuran, Kebutuhan dan Gengsi


                                        By: Nai Ulhen

Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, dipelihara, dijaga orisinalitas nilai dan keberadaannya oleh setiap suku, kini sudah bergeser jauh dari khittahnya. Alasan yang paling adalah bahwa pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu apabila masih menggunakan budaya lokal atau budaya daerah yang terlihat seadanya, mesti di baluti dengan persepsi kemewahan.

Tentu pergeseran tersebut tidak terjadi dengan sendirinya tetapi dengan jelas banyak faktor Residual seperti perkembangan Jaman, sumberdaya manusia, sikap konsumtif, korban Kemajuan IT, Faktor Ekonomi dan utamanya yaitu Gengsi Individu terhadap kemewahan dalam setiap perayaan acara ritual tertentu yang mempengaruhi banyak cara pandang orang di era ini, termasuk dalam urusan Pernikahan dan hajatan lainnya. Di Kabupaten Kepulauan Sula Perilaku Masyarakat dalam urusan pernikahan Selain Berdasar pada aturan agama juga di rangakaikan dengan adat istiadat.

Dalam keseharian, banyak saya jumpai persiapan hingga pelaksanaan pesta pernikahan yang mewah dan mahal, bahkan (Maaf)  kadang tampak berlebih-lebihan. Ada yang melakukannya atas dasar kemampuan, karena memang berasal dari keluarga kaya dan mapan, namun ada pula yang melakukan semata-mata karena gengsi atau memenuhi standar kelayakan terkait dengan kebiasaan dan status sosial di tengah masyarakat. Padahal secara histotis para leluhur telah meletakkan fondasi adat yang dikenal dengan Maksaira, Malomkub, Wa Lima, Lompoa do Hoi semuanya untuk memudahkan satu sama lain, justeru sekarang  perilaku yang demikian lebih banyak samari dengan asumsi yang lebih material, baik dari perkumpulannya hingga  pelaksanaannya.

Sampai dengan hari ini, saya masih sering mendengar banyaknya pemuda yang terpaksa menunda menikah bahkan berhutang karena mahalnya biaya dalam pernikahan dan takut terhadap pandangan mayoritas terhadap sakralnya budaya pernikahan yang justeru semakin materialis, sejak perencanaan, administrasi, prosesi dan penyelesaiannya.

---SEPERTINYA ADA YANG SALAH: Kalau Seperti ini Berarti Muncul Stigma Orang Miskin Dilarang Menikah--

Tujuan dari pernikahan sangat mulia, selain Perintah Allah juga untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Perkawinan antara pria dan wanita dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifzh al ‘irdh) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifzh an nasl) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan isteri serta saling membantu antara keduanya untuk kemashlahatan bersama. (Hussein Muhammad: 2007:111)

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Menyatakan perkawinan dan tujuannya adalah sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Senada dengan pandangan Hukum Positif, pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Beberapa perintah berikut ini:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS.Ar-Ruum [30]:21)

Dari perintah Allah tersebut, Menunjukan bahwa menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang bersangkutan.

Menyangkut urgensi pernikahan diatas, Imam al-Qurthubi turut memberi pendapat bahwa,”orang yang mampu menikah, kemudian khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menikah, maka dia harus menikah”.

Filosof Islam Imam Ghazali mengingatkan tentang tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, yaitu (a). Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. (b).Memenuhi tututan naluriah hidup kemanusiaan. (c). Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. (d).Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang. dan (e). Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar tanggung jawab.

Dari perspektif Hukum dan teoritis tersebut, Di sini saya berusaha untuk membandingkan dengan fenomena di masyarakat kita. Saya berusaha tidak memberikan judgement tertentu tetapi Perkara seperti ini bukan untuk dicari baik buruknya. Saya menulis untuk memberikan pengertian, terutama untuk melihat sisi manfaatnya dari pada mudaratnya. Bukan untuk ditanggapi secara subjektif.

Persepsi atas pelaksanaan acara pernikahan yang semakin hari makin tinggi biayanya, gayanya, elitisnya bahkan sudah hampir mengakar dan membentuk suatu keyakinan bahwa memang beginilah suatu pernikahan, Padahal Peraturan perundang undangan dan perintah agama tidak wajibkan dengan model seperti itu.

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu. “Artinya : Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah”.

Karena disadari bahwa tidak semua anak muda di Kepulauan Sula serba berkecukupan maka setidaknya harus kita kembalikan setiap prosesi acara pernikahan pada dasar hukum yang sesungguhnya (agama, UU dan hukum Adat) tanpa terprangkap dengan persepsi yang sifatnya material.

Kita akan lebih bijak dalam menyikapi fenomena meroketnya biaya pernikahan dengan harus melihat seseorang yang akan menikah dari latar belakang hidupnya, jangan sampai bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri.

Olehnya perlu saya tegaskan lagi bahwa:
1. Menikah adalah sebuah itikad baik yang harus di apresiasi oleh keluarga sebab diluar sana masih banyak pasangan yang terus berpacaran tidak jelas tanpa tahu kemana ujungnya. Tentu saja ini adalah salah satu dambaan dan tujuan orang tua bagi anaknya yang sudah dewasa dan bisa menafkahi diri sendiri (mandiri). Sudah sepatutnya, ini menjadi moment suka cita yang besar bagi orang tua.

2. Kalau berkeinginan kebahagiaan bisa terwujud dari kedua keluarga yang berhajat, maka marilah bahagia bersama. Jangan yang satu diinjak lalu diperah hingga kering hanya demi sesuatu yang sifatnya sesaat seperti kehormatan, pujian dan persepsi orang lain.

3. Bisa jadi secara tidak langsung, mereka yang memamerkan tingginya adalah mereka yang berkecukupan, jangan memaksakan ke semua generasi lalu membuatnya memgambil jalan yang tidak halal.

4. Budaya matre akan terbentuk dalam masyarakat tanpa disadari oleh banyak orang. Sehingga dalam bekerjapun seseorang hanya mementingkan uang dan menganggap pernikahan hanyalah persoalan uang semata bukan karena perintah agama dan menjaga diri.

5. Harus ada Fatwa MUI Kabupaten Kepulauan Sula atau Maluku Utara, bisa juga Regulasi lain yang membatasi lajunya biaya pernikahan dan mempertimbangkan latar belakang setiap individu yang ingin menikah, tanpa membatasi keinginan mereka yang merasa serba berkecukupan.

Sudah saatnya kebiasaan yang berlandaskan pada pikiran yang penuh ego dan kesombongan ditinggalkan oleh generasi kita. Kebiasaan yang tidak cocok untuk mempersatukan dan malah beresiko mendorong terciptanya kelas sosial dalam masyarakat.

Hemat saya, hal yang paling ditakutkan adalah Ketika Biaya Nikah Semakin Mahal Maka Perilaku Zinah Semakin Murah dan juga Meraja Lela, Kumpul kebo dimana mana, rumah tangga berantakan karena kemiskinan usai pernikahan, perceraian semakin rentan dan menghilagkan esensi pernikahan itu sendiri.

Semua itu adalah bukti Bahwa Ketika Perilaku Kapitalisasi Sudah Menembus Dinding Adat dan Mematikan Rasa dan Rasio Maka Faktanya Nilai Kemanusiaan Tidak Berlaku secara Universal.
Demikian syukur eb-eb....

Ket:
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghina tetapi hanya itikad baik dalam melihat sisi positif dari suatu kebiasaan yang bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain dari sisi materi dan psikis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKILAS MENGENAL ABANG RUDI

Rudi Duwila, Keseharian biasanya saya sapa beliau dengan panggilan Abang Rudi. Panggilan ini memang sangat kental dikalangan warga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sepengetahuan dan sepengalaman saya, beliau adalah sosok kakak yang sederhana, dermawan, murah senyum, sapa sesama, sabar, rendah hati dan banyak lagi yang patut untuk di dijadikan teladan.  Sebagasi yunior saya adalah salah satu yang mendapat perlindungan dari Bang Rudi waktu berproses menjadi mahasiswa kala itu, saya sangat merasakan perlindungan dari beliau diantara para senior lain kala itu, sebut saja Budi Banapon,  Bustamin Sanaba , Ipa Irfan  dan lain-lain, karena setahu saya sewaktu mulai aktif di HPMS Cabang Kepulauan Sula sejak tahun 2013 dengan Jabatan Ketua Komisariat HPMS STAIN Sanana, mereka inilah senior yang saya kenal. Perlindungan dan Kasih sayang para senior termasuk Bang Rudi  dapat resapi dalam pola kehidupan berorganisasi dan kesehariannya. Dalam setiap gerakan aksi demonstrasi yang sa...

“PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM”

CATATAN KECIL                                                                              O L E H : SAHRUL TAKIM   BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Pendidik (Guru) merupakan salah satu hal terpenting dalam proses pendidikan. Tugas guru sebagai pendidik merupakan hal yang sangat mulia di sisi Allah SWT dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Tapi penghargaan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru yang bekerja secara tulus dan ikhlas dalam mengajar peserta didiknya, atau bisa disebut juga guru tersebut bekerja secara professional...

Kampung Ku Dunia Ku; Sebuah Cerita

Oleh: Sahrul Takim   Hidup ini adalah pergiliran antara satu kenyataan dengan kenyataan berikutnya. Dari sejak awal dilahirkan di dunia ini, manusia sudah bersua dengan berbagai peristiwa dan ujian. Entah disadari atau tidak, yang jelas begitulah faktanya. Ada susah-senang, duka-suka, derita-bahagia, sakit-sehat, benci-gembira, tangis-tawa dan seterusnya. Semuanya dipergilirkan. Begitu kata sebagian orang bijak mengingatkan. Masuk dalam medan baru kehidupan atau apa yang dikenal dengan kehidupan dunia adalah pilihan takdir yang sudah diatur oleh Sang Kuasa. Tak ada yang mampu menolaknya. Tidak ada yang mampu ‘mengawali’ dan tidak ada yang mampu ‘mengakhiri’. Sebab kehadiran manusia—melalui rahim suci sang bundanya—adalah takdir yang tak mampu ditakar akal dan kemampuan manusia. Begitu juga, ketika kelak meninggal. Ia adalah takdir Sang Kuasa. Aku sebagai salah satu dari miliyaran manusia yang menghirup nafas di dunia ini tentu punya alur hidup tersendiri. Mau bagaimana aku menjalan...