Langsung ke konten utama

“ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN; KONSEP DAN PRAKTEK”


                                                                  GORESAN 
“ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN;
KONSEP DAN PRAKTEK”
                                                                            
O L E H :

SAHRUL TAKIM












KATA PENGANTAR

Alahamdulillah segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh sekalian alam, yang menciptakan alam beserta, isinya, yang telah memberikan karunia Ilmu Pengetahuan kepada Kami sehingga dapat menyelesaikan Tulisan ini dengan judul “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Konsep Dan Praktek” dengan baik.
Penulis sadari bahwa apresiasi intelektual Muslim dalam mengkaji Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan upaya Islamisasi telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu, baik itu berupa penelitian langsung maupun hanya sekedar opini. Respon atau apresiasi sejarawan Muslim dalam menelaah perkembangan ilmu tinjauan Islam telah populer di kalangan akademik.
Berbagai ilmu dan pendekatan telah digunakan untuk menganalisis masalah ini, baik itu yang menggunakan pendekatan sosiologis, fenomenologis, psikologis maupun yang lainnya untuk membawa perkembangan ilmu pengetahuan untuk tidak bertentangan dengan ajaran islam. Walaupun demikian, bukan berarti wacana islamisasi ilmu telah kering untuk terus dikaji, sebab semakin kompleks perkembangan keilmuan, maka semakin terbuka pula persoalan ini untuk terus dikaji dan diarahkan sesuai anjuran agama islam.
Dari telaah kepustakaan yang telah dilakukan dalam rangka penulisan makalah tentang Studi islamisasi Ilmu Pengetahuan telah diperoleh gambaran melalui literatur yang berkaitan dengan masalah tersebut belum fokus pada kajian kajian tokoh.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua kalangan yang membaca untuk memberikan kritik dan saran konstruktif dalam melakukan pengujian sebagai metode efektif untuk meningkatkan nalar dan kepekaan dalam menerjemahkan setiap topic dan juga merupakan masukan bagi saya dalam pengayaan ilmu pengetahuan.

 Sanana, 5 Januari 2015
Penulis


Sahrul Takim, S.PdI




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang.
Pada abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia ditandai oleh kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai implikasianya, yaitu berupa penjajahan mereka atas dunia Islam. Negara-negara yang dulunya masuk kedalam hegemmoni Islam seperti Spanyol,India,Sisilia, dan sebagainya sudah mulai lepas dari Islam dan berdiri sendiri sebagi Negara spenuhnya. Demikian pula Negara-negara yang secara ideologis sepenuhnya Islam sudah banyak yang menjadi jajahan bangsa-bangsa lain. Seperti Mesir,Turki, Indonesia, dan Malaysia.
proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali.[1]
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sekularisme yang dikembangkan oleh peradaban Barat membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Sekularisasi yang memisahkan agama dari politik serta penghapusan nilai-nilai agama dari kehidupan, tidak hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkan dari tujuan ilmu yang sebenarnya. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan konsep yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (theology), Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Gagasan dan sejarah islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya sudah terjadi semenjak permulaan Islam pada 8M dimana para sarjana muslim berhasil menterjemahkan, menyaring dan menyerap serta memadukan ilmu asing kedalam pandangan Islam yang sesuai dengan al-Qur'an. Namun, penyerangan Monggol yang dipimpin oleh Hulagu Khan ke Baghdad yang memusnahkan perpustakaan dan pembakaran buku-buku karya sarjana muslim membuat kemajuan tersebut terhenti. Pada saat dunia dikuasai oleh kemajuan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Negara-negara yang dahulu termasuk dalam hegemoni islam mulai melepaskan diri dari islam dan berdiri sendiri sebagai negara yang sepenuhnya berada di luar ideologi islam, negara tersebut melepaskan diri dari islam karena islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam umat islam timbul 3 sikap dalam menghadapi ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu; (1) sikap yang dirasakan bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai ilmu pengetahuan sekular. Dalam membawa kemajuan islam maka ilmu itu harus berdasarkan Alquran dan Al-sunnah. (2) ilmu pengetahuan dari barat diterima sebagai ilmu pengetahuan yang netral. (3) sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan barat itu sekular dan materialisme. Keadaan ini menimbulkan kegelisahan beberapa pakar ilmuan islam, sehingga muncullah ide untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan pada abad 20M, Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan konsep Tuhan.[2]
Ide dalam islamisasi ilmu ini, pertama kali diperkenalkan oleh Sayid Husein Nasr, seorang tokoh yang lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr membandingkan antara metodologi ilmu keislaman dan ilmu umum. Menurutnya ilmu keislaman tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung positivistik, melainkan menerapkan juga metodologi rasional, tekstual, dan berpikir intuitif sesuai dengan objek yang dikaji.
Gagasan Nasr tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas pada tahun 1977 sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkan pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang pertama di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu.
Dalam menindaklanjuti pemikiran tersebut maka diadakan Konferensi di swiss tahun 1977 yang dihadiri 30 partisipan. Pada konferensi tersebut memberi pengaruh besar terhadap para ilmuan muslin dunia. Di Amerika gerakan tersebut dipelopori oleh Ismael Raji al-Faruqi, sehingga mendirikan IIIT (International Institute of Islamic Thought) tahun 1981, di Washington. (International Islamic University Malaysia) (IIUM), di Malaysia. (International Institute of Islamic Thought and Civilization) ISTAC di Kuala Lumpur tahun 1981. Konferensi II diadakan di Islamabad, Pakistan tahun 1983. Sedangkan tahun 1984 di adakan konferensi III di Kuala Lumpur dan tahun 1987 diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi tersebut menindaklanjuti dari konferensi-konferensi sebelumnya dalam membahas islamisasi ilmu pengetahuan. [3]
Jika dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Dengan demikian untuk memposisikan islam sebagai agama pengontrol aktifitas kemanusiaan maka penulisan makalah ini menjadi jawaban tersendiri yang mestinya dilakukan.

B.       Rumusan Masalah
Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran dari aksi dan kultur dipandang sama berbahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam.  Karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan". Dengan demikian maka penulis mengangkat masalah untuk di bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2.      Bagaimana Islamisasi Ilmu Pengetahuan Secara Praktis?

C.      Tujuan Penulisan.
Gagasan ini pernah menjadi sangat popular semenjak awal dicanangkannya dan hingga sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan umat Islam. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai sejarah ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di sekitarnya dengan tujuan yakni:
1.      Untuk Mengetahui Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2.      Untuk Mengetahui Islamisasi Ilmu Pengetahuan Secara Praktis?
D.      Kegunaan Penulisan.
Penulis menjabarkan tema ini dengan kegunaan sebagai berikut.
1.    Kegunaan Teoritis
Dipergunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengkaji dan mendalami pemahaman terkait Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Pengontrolan Perkembangan keilmuan berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2.    Keguanaan ilmiah
Diharapkan dengan penulisan ini dapat menjadi tambahan khasanah intelektual, khususnya para pembaca yang berpendidikan, minimal sebagai bahan inspirasi dan tambahan wawasan bagi penulis dalam menelaah perpektif islam terhadap perkembangan ilmu secara baik sesuai dengan dinamika zaman perkembangan pemikiran manusia yang selalu dinamis dan juga upaya revitalisasi ajaran Islam sebagai Rahmatan lil alamin, mengingat semakin meningkatnya umat Islam secara kuantitas yang tidak dibarengi dengan kesadaran akan peningkatan kualitas dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan kekinian dan tantangan zaman.
3.    Kegunaan praktis
Gagasan ini menjadi sangat popular semenjak awal dicanangkannya dan hingga sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan umat Islam. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai sejarah ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Khususnya menambah informasi kepada para pembaca dan mahasiswa di Indonesia terutama mahasiswa dalam membangun diskursus serta seluruh umat muslim agar dapat memahami akan urgensinya islamisasi ilmu pengetahuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang terbingkai oleh nilai ajaran islam serta sebagai ikhtiar mewujudkan masyarakat sesuai visi keislaman.

D.   Metode dan Pendekatan
Sebagai karya ilmiah, maka tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode, karena metode merupakan pedoman agar kegiatan penelitian terlaksana dengan sistematis.[4] Dengan demikian, metode merupakan patokan agar penelitian mencapai hasil maksimal. Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (library research).[5] Sumber penelitian ini adalah buku-buku sejarah peradaban Islam abad 19-20, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan langsung dengan tema ataupun yang tidak langsung.
2.      Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan. Teknik analis data adalah usaha untuk menarik kesimpulan yang benar dari sebuah buku atau dokumen yang penggarapannya dilakukan secara obyektif dan sistematis.[6]
Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari penelitian pustaka adalah deskriptif-analitis yaitu penelitian yang menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasikan, yang pelaksanaanya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.[7] Sedangkan langkah yang hendak ditempuh adalah menelusuri kembali Perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan sejerah ilmu pengetahuan Islam abad 19 hingga ke-20.
Pendekatan yang digunakan penulis dalam hal ini adalah pendekatan historis dan Fenomenologi. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai abad 19 hingga 21 lebih dalam.


E.       Garis-garis besar penulisan.
Tulisan ini disusun dalam tiga komposisi bab, yang masing-masing bab memiliki bagian yang integral dengan bagian yang lain.
Pada Bab I, Pendahuluan. Dibagian ini menguraikan beberapa hal yang merupakan gambaran umum dari penelitian yaitu, susunan makalah melalui embrio permasalahan yang tersurat dalam latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan serta garis-garis besar penulisan.
Bab II Tinjuan Pustaka yang meliputi teori-teori yang telah diperoleh penulis  dalam proses perkuliahan maupun dari literature yang akan digunakan sebagai landasan pemikiran dalam pembahsan makalah ini.
Bab III merupakan akhir bab yang di dalamnya berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, serta saran dari penulis dan daftar pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1.      Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan bisa dipahami sebagai internalisasi konsep-konsep Islam terhadap ilmu pengetahuan. Artinya, setiap ilmu pengetahuan yang berkembang harus mempunyai nilai-nilai islamnya. Dalam konsep ini, islam menjadi nilai (satu-satunya) bagi ilmu pengetahuan. Secara teoritis dan ideologis, Syed M. Naquib al-Attas mendefenisikan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai:
Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.[8]
Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi semata, dan mendorong manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari tujuan ukhrawi. Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang kita lakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di akhirat.
Sementara secara praktis dan metodologis, al-Faruqi menjelaskan islamisasi sebagai usaha untuk:
memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan-dan melakukan semua itu sedimikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam.[9]
Defenisi al-Faruqi ini bisa dirinci sebagai berikut.
a.       Mendefenisikan kembali ilmu pengetahuan
b.      Menyusun ulang data-data ilmu pengetahuan
c.       Memikirkan kembali argumentasi dan rasionalisasi data tersebut
d.      Menilai kembali kesimpulan dan tafsiran yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan
e.       Memproyeksikan kembali tujuan-tujuan ilmu pengetahuan
f.       Ilmu pengetahuan apapun ditujukan untuk cita-cita islam dan memperkaya wawasan keislaman
Poin pertama sampai kelima bisa saja diklaim oleh siapa saja yang mencoba menjelaskan ilmu pengetahuan. Poin terakhir jelas membedakan konsepsi ilmu pengetahuan islam dengan konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan apapun. Penyebutan cita-cita islam dan wawasan keislaman menunjukan bahwa “proyek” islamisasi ini ditujukan bagi kemajuan islam. Melihat poin keenam ini, wajar kalau Kuntowijoyo menyebut islamisasi ilmu pengetahuan sebagai gerakan intelektual internasional, yaitu menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam pada dunia.[10]
Syeikh Idris mengajukan dua konsep islamisasi ilmu pengetahuan: Pertama, meletakan ilmu pengetahuan di atas fondasi Islam yang kuat. Artinya, fondasi ilmu pengetahuan itu adalah islam, bukan doktrin atau ajaran lain. Konsep pertama ini bersifat teoritis. Kedua, mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu pengetahuan. Konsep kedua ini bersipat metodologis.[11]
2.      Karakteristik dan Prinsip Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Karakterisitik islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari karakteristik ilmu pengetahuan islam. Di antara karakteristik tersebut: (1) mempunyai pokok persoalan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman, (2) mempunyai asumsi-asumsi dasar yang sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman, (3) menggunakan metode studi, metode penelitian, dan metode investigasi yang berbeda dan (4) mempunyai tujuan yang jelas.[12]
Hanya poin satu dan poin dua yang secara jelas menyebutkan terminologi Islam. Penyebutan ini mempertegas perbedaan karakteristik ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan non-islam, walaupun tentu saja kedua karakterisitk tersebut memerlukan penjelasan yang lebih luas. Poin ketiga dan keempat bisa saja digunakan untuk memberikan karakterisitik terhadap pengetahuan non islam.[13]
Sementara prinsip islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi:
a.         Keesaan Allah
Keesaan Allah terkait erat dengan tauhid. Tauhid menjadi prinsip pertama dari agama islam dan segala sesuatu yang islami. Islamisasi Ilmu pengetahuan pun harus mempunyai prinsip ini agar tidak kehilangan esensinya.
b.         Kesatuan Alam Semesta
Prinisp ini terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama, tata kosmis, yaitu keyakinan tentang kesatuan ciptaan Allah. Hanya ada satu realitas yang tertinggi di alam ini. Seandainya ada dua atau lebih realitas tertinggi, tentulah hancur dunia ini (Q.S. al-Anbiya [21]: 22). Kedua, penciptaan sebagai tujuan-tujuan akhirat. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dengan cara menjaga dunia dan isinya sebaik-baiknya. Manusia harus mempertanggung jawabkan kehidupan di dunia ini kelak di akhirat. Ketiga, ketundukan alam semesta kepada manusia. Alam semesta harus dimanfaatkan untuk kehidupan manusia sesuai dengan aturan-aturan Allah S.W.T.
c.       Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan
Prinsip ketiga ini mendasari tiga prinsip pengetahuan Islam, yaitu:
1)        Kesatuan kebenaran merumuskan bahwa berdasarkan wahyu kita tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan realitas
2)        Kesatuan kebenaran yang merumuskan bahwa tidak ada kontradiksi, perbedaan atau variasi di antara nalar dan wahyu, merupakan prinsip yang bersifat mutlak
3)        Kesatuan kebenaran, atau identitas hukum-hukum alam dengan pola-pola dari Sang Pencipta, merumuskan bahwa tak ada pengamatan/ penyelidikan ke dalam hakekat alam semesta atau setiap bagiannya dapat berakhir atau dipecahkan.[14]
d.      Kesatuan hidup
Kesatuan hidup terkait dengan tiga hal pokok. Pertama, amanat Allah kepada makhluk-Nya, terutama manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Amanat yang harus dijalankan oleh makhluk-Nya  adalah kewajiban mereka untuk beribadah kepada-Nya. (Q. S. adz-Dzariyat [51]: 56).Kedua, manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di antara tugas manusia sebagai khalifah adalah menyempurnakan hukum-hukum moral. Ketiga, kelengkapan syariat. Syariat menjadi pelengkap bagi manusia yang diamanatkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
e.       Kesatuan Ummat Manusia
Karena Allah yang menciptakan semua manusia, maka tentu saja kesatuan umat ini menjadi sebuah fakta kemanusiaan yang tidak terelakan. Terminologi manusia merujuk pada siapapun manusia yang ada di jagat raya ini. Walaupun berbeda ideologi, agama, ras, bahasa, dan bangsa, namun mereka semua satu sebagai manusia.[15]

B.       Arah dan Manfaat Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Arah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengembalikan pengetahuan kepada agama, keimanan, dan lebih khusus lagi kepada tauhid. Secara lebih gamblang, kuntowijoyo memaparkan tujuan tersebut, yaitu “berusaha supaya umat islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah”.[16] Berikut secara praktis Rencana Kerja Islamisasi Ilmu Pengetahuan berdasarkan Langkah-langkah untuk mencapai proses islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi sebagai berikut:
1.        Menguasai disiplin ilmu modern melalui penguasaan kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, masalah-masalah, dan tema-tema disiplin ilmu tertentu.
2.        Mensurvei disiplin ilmu
3.        Menguasai khasanah ilmiah islam dalam bentuk antologi
4.        Menganalisa khasanah ilmiah islam
5.        Menentukan relevansi islam terhadap disiplin-disiplin ilmu tertentu
6.        Menilai secara kritis perkembangan masa kini disiplin ilmu modern tertentu
7.        Menilai secara kritis perkembangan masa kini khasanah ilmiah islam
8.        Mensurvei permasalahan yang dihadapi umat islam masa kini
9.        Mensurvei permasalahan yang dihadapi penduduk dunia
10.    Menganalisa dan mensintesa secara kreatif langkah-langkah sebelumnya.
11.    Menuangkan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam melalui buku-buku pegangan wajib mahasiswa
12.    Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang telah diislamisasikan.[17]
Al-Faruqi juga menjelaskan alat bantu lain untuk mempercepat proses islamisai ilmu pengetahuan.
1.    Melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah semacam konfrensi, seminar, lokakara, talkshow dan lain-lain.
2.    Pelatihan dan pembinaan instruktur-instruktur dan staf-staf pengajar.[18]
Sementara itu aturan-aturan implementasi oleh al-Faruqi ada tiga hal.
1.    Menyediakan honorarium yang setimpal dengan pekerjaan para ilmuan.
2.    Hanya ilmuwan yang kompeten yang ditugaskan untuk menulis bahan-bahan pengajaran yang direncanakan.
3.    Memecah pekerjaan yang dianggap besar menjadi bagian-bagian kecil yang diserahkan kepada ilmuan lain.
4.    Negara menangung pembiyaan islamisasi ini.[19]
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama "virus"nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekulerpun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.[20]
 Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha "untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).[21] "Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan "prinsip tauhid" sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam

C.      Munculnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tahun 1880-an, Nietzsche telah mengkritik paradigma rasional yang menjadi ukuran kebenaran pengetahuan Barat. Menurutnya, budaya Barat diambang kehancuran apabila terlalu mendewakan rasio. Tahun 1990-an, Fritjof Capra juga menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur karena terlalu mendewakan rasio.[22]
Kritik Capra disajikan dalam dua bukunnya; The Tao of Phsyic dan  The Turning Piont: Science, Society and The Rising Culture. Buku pertama menggemparkan filsafat fisika karena dalam buku tersebut, Capra telah menghubungkan fisika dengan spiritualisme. Jelas sekali buku ini mengkritik filsafat fisika Barat yang anti Tuhan. Buku kedua berisi uraian tentang proses dan bukti kehancuran budaya Barat. Dari dua buku ini, tampak kental kritik Capra terhadap filsafat Barat yang menjadi alasan utama kehancuran budaya barat.[23]
Proses kehancuran barat menurut Capra ini bisa digambarkan dalam skema berikut:
1.    Rasionalisme.
2.    Cartesian dan Newtonian
3.    Paradigma Sain yang tunggal
4.    Budaya barat
5.    Kehancuran (kacau, penuh kontradiksi).[24]
Berdasarkan skema tersebut dapat kita simpulkan bahwa kehancuran budaya Barat disebabkan karena paradigma sain Barat yang muncul dari pemikiran Cartesian dan Newtonian. Pemikiran Cartesian dan Newtonian ini berangkat dari filsafat rasionalisme (dan empirisisme) yang menjadi mazhab filsafat keduanya.[25]
Bagaimana mencegah pengaruh kehancuran Barat terhadap kehancuran budaya dunia? Capra menawarkan paradigma lain untuk mendesain kembali budaya dunia. Ia menghendaki agar I Ching menjadi formula baru paradigma sain. Menurutnya, filsafat Cina ini mampu melihat dunia secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.[26]
Pemikiran Capra membuka peluang bagi Islam sebagai salah satu filsafat-yang bukan hanya mampu melihat dunia sebagai sebuah sistem, tapi juga telah membuktikannya dengan piagam Madinah-untuk tampil menjadi alternatif bagi paradigma sain dunia yang kacau ini.[27] (di)tampil(kan)-nya Islam menawarkan aternatif lain ini membuktikan bahwa Islam bisa dihubungkan dengan sain. Sementara itu kenyataan gagalnya paradigma sain Barat dalam membangun budaya dunia menjadi latar belakang munculnya islamisasi ilmu pengetahuan dan memicu beragam pemahaman tentangnya.
Pemikiran tentang Islamisasi ilmu pengetahuan beritik tolak dari pemikiran tentang hubungan antara islam dan ilmu modern(sain). Beragam pendapat muncul untuk menafsirkan hubungan tersebut, baik pendapat yang pro maupun kontra. Pada tahun 1883, Ernest Renan mengangkat polemik tentang wahyu dan akal. Menurutnya, agama dan ilmu pengetahuan bersifat abadi, sehingga kebenaran keduanya bersifat absolut. Premis sekuler ini mendapat reaksi dari Jamaludin al-Afghani, salah seorang pemikir Muslim dengan seruan agar  umat Islam bersatu dalam sebuah kesadaran kolektif (Pan-Islamisme). Harun Nasution, seorang filosof Muslim Indonesia, menjelaskan hubungan antara Islam dan Ilmu pengetahuan berada pada wilayah ajaran-ajaran Islam yang bersifat relatif dan nisbi. Wilayah ajaran Islam ini cocok dengan kebenaran ilmu pengetahuan yang bersifat relatif dan nisbi.[28]
Osman Bakar (seorang pakar epistemologi sain dari Malaysia) lebih khusus lagi menjelaskan hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan dengan istilah tauhid dan sain. Tauhid, yang merupakan doktrin metafisika keesaan Allah yang terkandung dalam kalimat pertama kesaksian keimanana (syahadat) adalah ide utama yang membentuk karakter hubungan tersebut. Dalam mempraktikkannya, umat Islam memberikan ekspresi dalam teori dan prakteknya kepada dua prinsip paling fundamental hubungan tauhid dan sains, yaitu kesatuan kosmis dan kesatuan pengetahuan dan sains.[29]
Diskursus hubungan Islam dan sains, dalam perkembangannya sampai pada terminologi Islamisasi pengetahuan dari Naquib al-Attas yang kemudian diusung oleh Isma’il Raji al-Faruqi dan Ziaudin Sardar dengan proyek sain Islamnya.[30] Naquib al-Attas mengembangkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dari Syed Hossein Nasr, seorang pemikir muslim Amerika kelahiran Iran. Nasr meletakkan asas sains Islam dalam aspek teori dan prakteknya melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Hal ini ia lakukan karena menyadari adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang akan mengancam dunia Islam.[31]
Sementara itu, dengan konsep sains Islamnya, Sadar mengkritik islamisasi ilmu pengetahuan yang diartikan sebagai mengislamkan seluruh sains. Ia juga mengkritik pendapat yang menjelaskan adanya relevansi antara ilmu pengetahuan Islam dengan sains Barat. Baginya tidak mungkin sains Barat relevan dengan sain Islam karena sudah nampak perbedaan paradigma antara keduanya. Baginya, islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar bisa menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas fondasi ajaran Islam.
Sejak jaman Isma’il Raji al-Faruqi sampai sekarang, islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tema akademis yang sering dibahas dalam forum-forum ilmiah. Kehadirannya memperluas cakrawala pengetahuan umat Islam, dan sekaligus menjadi wacana ilmiah yang sering diperdebatkan oleh para pengkajinya.

D.      Realisasi Islamisasi  Ilmu Pengetahuan
Seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Ada yang pro dan ada yang kontra.  Dr. Mohammad Arkoun, mengatakan bahwa keinginan dari pada cendikiawan muslim untuk melakukan islamisasi dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap bahwa Islam hanya semata-mata sebagai ideology.[32] senada dengan hal itu, di Indonesia juga terdapat yang kurang setuju dengan Arkoun di atas. Usep Fathuddin menganggap bahwa Islamisai ilmu pengetahuan tidak perlu, lebih lanjut ia mengatakan:
 Hemat saya, Islamisasi ilmu bukan kerja ilmiah, apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat dan lebih-lebih lagi para cendikiawan adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. Islamisasi ilmu hanyalah “kerja kreatif” atas kerja orang saja. Sampai tingkat tertentu, tak ubahnya sebagai tukang kerja dipinggir jalan. Manakala orang atau seorang ilmuan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian, Tentunya) akan berusaha menagkap dan berusaha mengislamkannya.[33]
 Menurut Ziauddin Sardar, pemikir muslim dari Inggris, yang beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan gerakan Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan deislamisasi (westernisasi) Islam. Sardar pesimis akan kemampuan para ilmuwan muslim untuk memadukan ilmu Islam dengan ilmu Barat karena di antara keduanya terdapat perbedan paradigma yang mencolok.[34]
Perbedaan pendapat diantara mereka itu hanya pada soal pendekatan. Kelompok yang menganggap tidak perlu melakukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan, terkesan ada sedikit rasa gengsi mengambil  ilmu pengetahuan  dari Barat dan kemudian mengislamkannya. Bagi mereka umat Islam perlu memiliki ilmu pengetahuan yang Islami sebagaimana yang telah dicatat pada zaman klasik. Namun, caranya bukan dengan mengambil ilmu dari Barat dan mengislamkannya, melainkan langsung saja membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada corak dan sifat ajaran Islam.
Sementara itu bagi mereka yang setuju melakukan Islamisasi ilmu Pengetahuan, bukan berarti tidak setuju membentuk ilmu pengetahuan dengan corak Islam secara mandiri, melainkan bersamaan dengan itu dipadang tidak ada salahnya apabila kita mengambil ilmu pengetahuan dari Barat lalu mengislamkanya, sebagaimana halnya Barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan dari Islam di zaman klasik lalu menyesuaikan dengan ajaran Barat.
Sejak digagasnya ide Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para cendikiawan muslim dan telah berjalan lebih dari 35 tahun, jika dihitung dari Seminar Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, berbagai respon terhadapnya pun mulai bermunculan, baik yang mendukung ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan pun secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang berkaitan dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam.
Al-Attas sendiri sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu model usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah yang sering dimaksudkan untuk mendidik  seperti ta'lim, tarbiyah dan ta'dib. Dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istilah ta'dib merupakan konsep yang paling sesuai dan komprehensif untuk pendidikan.
Dengan berbasis pada pada pandangan agama Islam yang demikian itulah, maka pemikira Faruqi akhirnya mengkristalkan gagasan Islammization of knowledge yang kemudian menjadi salah satu agenda yang mewarnai dunia Islam, dan sekaligus menimbulkan bahan perdebatan (wacana) di kalangan para ahli.

E.       Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Dengan adanya  islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan  nantinya akan dihasilkan sebuah sains Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, di mana sains Islam tersebut berbeda dengan sains Barat yang telah berkembang saat ini. Adapun perbandingan antara sains Barat dan sains Islam yaitu :
No
Sains Barat
Sains Islam
1.
Percaya pada rasionalitas
Percaya pada wahyu
2.
Sains untuk sains
Sains adalah sarana untuk mendapatkan keridhoan Allah
3.
Satau-satunya metode atau cara untuk mengetahui realitas
Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu baik secara objektif dan subjektif
4.
Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas
Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial
5.
Tidak memihak, ilmuwan hanya peduli pada produl pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya
Pemihakan pada kebenaran, ilmuan harus peduli terhadap hasil-hasil dan akibat-akibat penemuannya secara moral sebagai bentuk ibadah
6.
Tidak adanya bias, validitas suatu sains hanya tergantung pada bukti penerapannya (objektif) bukan ilmuwan yang menjalankannya (subjektif)
Adanya subjektivitas, validitas sains tergantung pada bukti penerapan juga pada tujuan dan pandangan ilmuwan  yang menjalankannya
7.
Penggantungan pendapat, sains hanya dibuat atas dasar bukti yang meyakinkan
Menguji pendapat, sains dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan
8.
Reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains
Sintesis, cara yang dominan untuk meningkatkan kemajuan sains
9.
Fragmentasi, pembagian sains ke dalam disiplin dan subdisiplin-subdisiplin
Holistik, pembagian sains ke dalam lapisan yang lebih kecil yaitu pemahaman interdisipliner dan holistik
10.
Universalisme, walaupun universal namun buah sains hanya bagi mereka yang mampu membelinya
Universalisme, buah sains bagi seluruh umat manusia dan tidak diperjualbelikan
11.
Induvidualisme, ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik dan ideologis
Orientasi masyarakat, ilmuwan memiliki hak dan kewajiban adanya interdependensi dengan masyarakat
12.
Netralitas, sains adalah netral
Orientasi nilai, sains adalah sarat nilai berupa baik atau buruk juga halal atau haram
13.
Loyalitas kelompok, hasil pengetahuan baru adalah aktifitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi
Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru adalah cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaan-Nya
14.
Kebebasan absolute, tidak ada pengekangan atau penguasaan penelitian sains
Manajemen sains adalah sumber yang tidak terhingga nilainya, sains dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral
15.
Tujuan membenarkan sarana, setiap sarana dibenarkan demi penelitian sains.
Tujuan tidak membenarkan sarana, tujuan sarana diperbolehkan dalam batas-batas etika dan moralitas.[35]

Dalam redaksi lain tujuan islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk: melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.[36]
Tujuan islamisasi ilmu pengetahuan dari sisi impelementasinya adalah:
1.    Penguasaan disiplin ilmu modern
2.    Penguasaan khasanah Islam
3.    Penentuan relevansi islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
4.    Pencarian sintesa kreatif antara khasanah islam dengan ilmu modern
5.    Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah S.W.T.[37]

F.       Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.[38]
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya, ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan sebagian besar penduduk di muka bumi ini.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religious yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih kesatria dan mulia. Sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.[39]
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang  speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya akan memuaskan perasaan manusia belaka.[40] 
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
1.        Dalam pandangan islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2.        Ilmu pengetahuan adalah produk alam pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3.        Dalam pandangan islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empirik, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empirik mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4.        Dalam pandangan islam realitas itu tidak hanya realitas fisik tetapi juga ada realitas non-fisik atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontology rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transeden. [41]



BAB III
KESIMPULAN

A.      Kesimpulan.
Dari pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional – empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Satu hal yang kiranya perlu tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis: terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang pemikir.  Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema keumatan yang memang nyata keberadaannya.

B.       Saran.
Sebagai upaya pencegahan penyebaran missi zionis, yang sifatnya integratif, maka studi ilmu ushuluddin sudah semestinya menjadi mata kuliah wajib pada tiap-tiap jurusan, baik sains alam maupun sains sosial. Tema-tema pembahasan akan didasarkan pada interaksi iman dengan manusia secara individu, peranan iman sebagai penggerak kekuatan manusia, peningkatan produktivitas manusia dan pencetus terwujudnya masyarakat yang berperadaban. Pendekatan yang integrative juga misa memasukkan materi-materi syariah dalam ilmu ekonomi, sosiologi dan psikologi.








[1] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, (INSIST, Jakarta, 2005), hal. 29.
[2] H. Abuddin Nata, Metodologi studi islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 404-405
[3] Khudori Soleh, Wacana baru filsafat islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 250.
[4] Anton Bekker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Cet.I, Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal.10
[5] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar dan Metode Teknik, (Cet.I, Bandung: Tarsio, 1990), hal. 182.
[6] Lexi J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif , (Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 263
[7] Winarno Surahmad, Pengantar Op. Cit…, hal. 45
[8] Miftahul Huda di drmiftahulhudauin.multiply.com. Historisitas Islamisasi Ilmu Pengetahuan. (2009). hal.. 7
[9] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Cet.III; Bandung: Penerbit Pustaka,  2003),  hal. 38-39.
[10] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi….,Op.Cit. hlm.v.
[11] Miftahul. HistoritasOp.Cit,hal. 15.
[12] Osman Bakar. Epistemology in Islamic Perspective: The Theory. (Sebuah makalah ilmiah yang disajikan dalam Seminar Internasional Epistemologi dalam Perspektif Islam: Teori dan Implementasinya di Perguruan Tinggi Islam). Bandung, 13 November 2009. hal.7.
[13] Miftahul. Historitas..Op.Cit,hal. 15.
[14] Gagasan Osman Bakar, penulis tidak menemukan penjelasan lebih jauh mengapa poin ketiga dan keempat yang tidak mencantumkan kata-kata islam. Namun penulis mencoba menghubungkan kedua poin tersebut dengan pemikiran Kuntowijoyo bahwa tidak semua entitas ilmu pengetahuan bisa diislamkan. Lihat Kuntowijoyo, Islam..,Op.Cit. hal. 8.
[15] Ismail. Islamisasi. Op.Cit, hal. 56-66
[16] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007), hal. v.
[17] Ibid, hal. 98-118.
[18] Ibid. hal. 118-119.
[19] Ibid. hal. 119- 121.
[20] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005).
[21] Ismail Raji al-Faruqi.. Op.Cit, hal. 36.
[22]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. (Cet.IX; Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001), hal. 257.
[23] Ibid, hal. 259-265.
[24] Ibid. hal. 264.
[25] Cartesian merujuk pada metode filsafat dari Rene Descartes, Mbahnya filsafat modern, yang terkenal dengan ungkapan cogito ergo sum (aku berpikir, jadi aku ada). Descartes sendiri seorang filosof rasionalisme yang tentu saja ikut andil dalam mendorong rasionalisme menjadi salah satu metode ilmiah. Andilnya ini menjadikannya dianggap sebagai salah seorang yang pertama kali menghubungkan filsafat dengan ilmu. Sementara Newtonian merujuk pada pemikiran Sir Isaac Newton, seorang ilmuwan besar yang telah mempraktekan kedua metode ilmiah, yaitu rasionalisme dan empirisisme dalam melakukanan proyek ilmiahnya. Perkembangan pemikiran kedua tokoh ini dianggap telah melahirkan paradigma sain yang tunggal, yang tidak melihat alam dan kehidupan secara utuh menyeluruh, tapi hanya dari sisi empirik dan rasional semata. Paradigma ini bertanggung jawab dalam menjadikan budaya barat hancur. Lihat Robet C. Solomon & Kathleen M. Higgins. Sejarah Filsafat. (Jogjakarta:Yayasan Bentang Budaya. 2002). hal. 357 dan ibid. hal. 131 dan 263.
[26] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum.., Op.Cit. hal. 264.
[27] Ibid. hal, 245.
[28] Ajaran-ajaran agama terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, ajaran-ajaran dasar dasar yang bersifat mutlak benar, kekal tak berubah dan tidak boleh dirubah. Kedua ajaran-ajaran hasil penafsiran manusia dari ajaran-ajaran dasar. Ajaran ini bisa berubah dan bisa diubah. Lihat Harun dalam Syaiful Muzani (Editor). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan. 1995), hal. 292.
[29] Osman Bakar. Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, (Bandung: Pustaka Hidayah. 2008). hal. 29- 30.
[30] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu…, Op.Cit, hal.v.
[31] Ibid. hal. 5.
[32] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer…., Op.Cit., hal. 40
[33] Usep   Fathuddin,   Gagasan   dan   Perdebatan   Islamisasi   Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000), hal. 51
[34] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam (Malang: Bayu Media, 2003), hal.160
[35] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Badung: Pustaka Hidayah, 1996), hal.73-76
[36] Miftahul. Historitas…Op.Cit.  hal. 9.
[37] Isma’il, Islamisasi..Op.Cit, hal. 98.
[38] Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 230.
[39] Ibid. hal. 230
[40]LP3ES, Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta :LP3ES, 1985), hal. xiii
[41]Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta : Gramedia, 1986), hal. 129. 

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rajawali Press, 2010

Bakar, Osman, Epistemology in Islamic Perspective: The Theory, Bandung, 13 November 2009

____________, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, Bandung: Pustaka Hidayah. 2008

Bekker, Anton dan Charis Zubair, Ahmad, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet.I, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, Badung: Pustaka Hidayah, 1996

Fathuddin, Usep,   Gagasan   dan   Perdebatan   Islamisasi   Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000

Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, INSIST, Jakarta, 2005


Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007

LP3ES, Agama dan Tantangan Zaman, Jakarta :LP3ES, 1985

Mahmud, Moh. Natsir, Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan,  Jakarta : Gramedia, 1986

Moeleng, Lexi J, Metode Penelitian Kualitatif , Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Muzani, Syaiful, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan. 1995

Nata, H. Abuddin, Metodologi studi islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011

Raji al-Faruqi, Isma’il, Islamisasi Pengetahuan, Cet.III; Bandung: Penerbit Pustaka,  2003
Soleh, Khudori, Wacana baru filsafat islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Solomon, Robet C & Higgins, Kathleen M, Sejarah Filsafat, Jogjakarta:Yayasan Bentang Budaya. 2002

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar dan Metode Teknik, Cet.I, Bandung: Tarsio, 1990

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Cet.IX; Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001

Zainuddin, M, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu Media, 2003





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKILAS MENGENAL ABANG RUDI

Rudi Duwila, Keseharian biasanya saya sapa beliau dengan panggilan Abang Rudi. Panggilan ini memang sangat kental dikalangan warga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sepengetahuan dan sepengalaman saya, beliau adalah sosok kakak yang sederhana, dermawan, murah senyum, sapa sesama, sabar, rendah hati dan banyak lagi yang patut untuk di dijadikan teladan.  Sebagasi yunior saya adalah salah satu yang mendapat perlindungan dari Bang Rudi waktu berproses menjadi mahasiswa kala itu, saya sangat merasakan perlindungan dari beliau diantara para senior lain kala itu, sebut saja Budi Banapon,  Bustamin Sanaba , Ipa Irfan  dan lain-lain, karena setahu saya sewaktu mulai aktif di HPMS Cabang Kepulauan Sula sejak tahun 2013 dengan Jabatan Ketua Komisariat HPMS STAIN Sanana, mereka inilah senior yang saya kenal. Perlindungan dan Kasih sayang para senior termasuk Bang Rudi  dapat resapi dalam pola kehidupan berorganisasi dan kesehariannya. Dalam setiap gerakan aksi demonstrasi yang sa...

“PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM”

CATATAN KECIL                                                                              O L E H : SAHRUL TAKIM   BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Pendidik (Guru) merupakan salah satu hal terpenting dalam proses pendidikan. Tugas guru sebagai pendidik merupakan hal yang sangat mulia di sisi Allah SWT dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Tapi penghargaan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru yang bekerja secara tulus dan ikhlas dalam mengajar peserta didiknya, atau bisa disebut juga guru tersebut bekerja secara professional...

Kampung Ku Dunia Ku; Sebuah Cerita

Oleh: Sahrul Takim   Hidup ini adalah pergiliran antara satu kenyataan dengan kenyataan berikutnya. Dari sejak awal dilahirkan di dunia ini, manusia sudah bersua dengan berbagai peristiwa dan ujian. Entah disadari atau tidak, yang jelas begitulah faktanya. Ada susah-senang, duka-suka, derita-bahagia, sakit-sehat, benci-gembira, tangis-tawa dan seterusnya. Semuanya dipergilirkan. Begitu kata sebagian orang bijak mengingatkan. Masuk dalam medan baru kehidupan atau apa yang dikenal dengan kehidupan dunia adalah pilihan takdir yang sudah diatur oleh Sang Kuasa. Tak ada yang mampu menolaknya. Tidak ada yang mampu ‘mengawali’ dan tidak ada yang mampu ‘mengakhiri’. Sebab kehadiran manusia—melalui rahim suci sang bundanya—adalah takdir yang tak mampu ditakar akal dan kemampuan manusia. Begitu juga, ketika kelak meninggal. Ia adalah takdir Sang Kuasa. Aku sebagai salah satu dari miliyaran manusia yang menghirup nafas di dunia ini tentu punya alur hidup tersendiri. Mau bagaimana aku menjalan...